01 July 2016

QIRA'AT DAN SAB'AH HURUF


QIRA'AT DAN SAB'AH HURUF



A.   Hakikat Qira’at Dan Sab'ah Huruf
Secara bahasa, kata  qira'at  berasal dari jamak kata  qira'ah   yang berarti “bacaan”, kata tersebut merupakan bentuk mashdar dari fi’il  madhi. Secara istilah, Ilmu qira'at adalah “Ilmu mengenai cara melafadzkan al-Qur’an yang disertai perbedaan pembacaannya menurut versi orang yang mengucapkannya. Qira'at ditetapkan berdasarkan sanad-sanadnya sampai kepada Rasulullah. Para sahabat yang terkenal mengajarkan qira'at adalah Ubai, Ali, Zaid bin Tsabit, Ibnu Mas'ud, Abu Musa al-'Asy'ari dan lain-lain.[1]
Menurut Allamah Sayyid Muhammad Hussain Thabathaba'i berdasarkan pada hadits mutawatir yang diriwayatkan oleh 21 orang sahabat yang berbunyi:
نَزَلَ القُرآن عَلَى سَبْعَةِ اَحْرُفٍ
Al-Qur'an diturunkan dengan memakai tujuh huruf (H.R. Bukhari dan Muslim).
Menurut beliau bahwasanya ulama Syi'ah lebih condong pada pendapat bahwa tujuh huruf maksudnya tujuh qira'at yang dipakai oleh tujuh imam qira'at yaitu:
1.   Ibnu Katsir dari Mekkah, dengan dua orang perawinya adalah Qanbul dan Bizzi.
2.   Nafi' dari Madinah dengan dua orang perawinya adalah Qalun dan Warasy.
3.   Ashim dari Kufah dengan dua orang perawinya adalah Abu Bakar Syu'bah bin al-'Iyasy dan Hafs. Al-Qur'an yang dipakai kaum muslimin dewasa ini adalah memakai qira'ah Ashim yang diriwayatkan oleh Hafs.
4.   Hamzah dari Kufah dengan dua orang perawinya adalah Khalf dan Khallad.
5.   Al-Kisa'i dari Kufah dengan dua orang perawinya adalah Dauri dan Abu Harits.
6.   Abu 'Amr bin al-'Ala' dari Baseah dengan dua orang perawinya adalah Dauri dan Sausi.
7.   Ibnu 'Amir dengan dua orang perawinya adalah Hisyam dan Ibnu Zakwan. [2]

Sedangkan menurut Zainal Abidin. S hadits tersebut hampir mencapai derajat mutawatir dan menurut beliau yang dimaksud dengan qira'at sab'ah huruf adalah mushaf dengan rasm Usmani yaitu telah meliputi huruf yang tujuh dan memuat bacaan terakhir yang dibacakan Nabi saw kepada Jibril  tanpa meninggalkan satu huruf pun. [3]
Adapun pendapat-pendapat yang lain adalah:
1. Al-Qur’an mengandung tujuh bahasa Arab yang memiliki satu makna. Seperti aqbil, ta’al, halumma, ‘ajjil, asri’ yang memiliki satu makna yaitu ‘datang kemari’.  
2. Tujuh dialek bahasa kabilah Arab yaitu Qurays, Hudzail, Tamim, Tasqif, Hawazin, Kinanah dan Yaman.
3. Tujuh aspek kewahyuan seperti perintah, larangan, janji, halal, haram, muhkam, mutasyabih dan amtsal.
4. Tujuh perubahan perbedaan yaitu ism, i’rab, tashrif, taqdim dan ta’khir, tabdil dan tafkhim.
5. Tujuh huruf diartikan bilangan yang sempurna seperti 70, 700, 7000 dan seterusnya.
6. Tujuh Qira’at yang disebut dengan qira’ah sab’ah.
7. Tujuh huruf diartikan tujuh bangsa selain bangsa Arab seperti Yunani, Persia dan lain-lain. [4]

Menurut M. M. Al A’zami bahwa  qira’at al-Qur’an, khususnya istilah ‘qira’ah sab’ah’ sering dimaknai dan dikorelasikan identik dengan ‘Tujuh Huruf’, tetapi pendapat ini tidak kuat. Meski demikian, istilah ‘Tujuh Huruf’ merupakan salah satu sebab munculnya multiple reading (banyak bacaan) al-Qur’an. [5]
  Contohnya terdapat pada rasm utsmani dalam surat al-Ma’idah ayat 82 : kata  qissiisiina  yang berarti  para rahib (pendeta), berbeda dengan bacaan ‘Ubay bin Ka’b, yaitu  shiddiiqiina  (yang membenarkan).  Dua perbedaan ini dibenarkan oleh Nabi saw. [6]
لَتَجِدَنَّ أَشَدَّ النَّاسِ عَدَاوَةً لِلَّذِينَ آمَنُوا الْيَهُودَ وَالَّذِينَ أَشْرَكُوا وَلَتَجِدَنَّ أَقْرَبَهُمْ مَوَدَّةً لِلَّذِينَ آمَنُوا الَّذِينَ قَالُوا إِنَّا نَصَارَى ذَلِكَ بِأَنَّ مِنْهُمْ قِسِّيسِينَ وَرُهْبَانًا وَأَنَّهُمْ لا يَسْتَكْبِرُونَ

Begitu juga pada surat al-Baqarah ayat 9, kata  yukhaadi’u tertulis dalam al-Qur’an Jordania, yakhda’uuna. [7]
يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَالَّذِينَ آمَنُوا وَمَا يَخْدَعُونَ إِلا أَنْفُسَهُمْ وَمَا يَشْعُرُونَ




B.   Latar Belakang Timbulnya Perbedaan Qira'at
Qira’at sebenarnya telah muncul sejak zaman Nabi walaupun pada saat itu qira’at bukan merupakan sebuah disiplin ilmu, ada beberapa riwayat yang dapat mendukung asumsi ini, yaitu :
Suatu ketika Umar bin Khathtab menemukan perbedaan pembacaan ayat al-Qur’an. Kemudian peristiwa perbedaan membaca ini mereka laporkan ke Rasulullah saw. Maka beliau menjawab dengan sabdanya, yang artinya :
“Memang begitulah Al-Qur’an diturunkan. Sesungguhnya Al-Qur’an  ini diturunkan dalam tujuh huruf, maka bacalah oleh kalian apa yang kalian anggap mudah dari tujuh huruf itu, (H.R. Bukhari).” [8]
Menurut catatan sejarah, timbulnya penyebaran qira’at dimulai pada masa tabi’in, yaitu pad awal abad II H, tatkala para qari’ tersebar di berbagai pelosok, telah tersebar di berbagai pelosok. Mereka lebih suka mengemukakan qira’at gurunya daripada mengikuti qira’at imam-imam lainnya. Qira’at-qira’at tersebut diajarkan secara turun-menurun dari guru ke murid.
Timbulnya sebab lain dengan penyebaran qori’-qori’ keberbagai penjuru pada masa Abu Bakar, maka timbullah qira’at yang beragam. Lebih-lebih setelah terjadinya transformasi bahasa dan akulturasi akibat bersentuhan dengan bangsa-bangsa bukan arab, yang pada akhirnya perbedaan qira’at itu berada pada kondisi itu secara tepat.
Pendapat yang lain menyatakan bahwa cara baca al-Qur’an yang beragam disebabkan beberapa hal utama yaitu:
1. Perbedaan karena tidak ada tanda titik.
2. Perbedaan karena tidak adanya tanda diakritikal. [9]
Contohnya pada surat al-Baqarah ayat 222.
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ وَلا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِب     ُّ الْمُتَطَهِّرِينَ
Kata yang digaris bawahi bisa dibaca “yathurna” dan bisa dibaca “yatthoh-har-na”. jika dibaca qiraat pertama, maka berarti :
dan jangalah kamu mendekati mereka (istri-istrimu) sampai mereka suci (berhenti dari haidh tanpa mandi terlebih dahulu).
Sedangkan  qiraat kedua berarti:
dan janganlah kamu mendekati mereka (istri-istrimu) sampai mereka bersuci (berhenti dari haidh dan telah mandi wajib terlebih dahulu).”
C.   Hikmah Perbedaan Qira'at
Dalam keragaman cara baca al-Qur’an, dapat diambil beberapa hikmah yang berguna sebagai tanda keotentikan al-Qur’an :
1.    Bukti yang jelas tentang keterjagaan al-Quran dari perubahan dan penyimpangan, meskipun mempunyai banyak qira'at tetapi tetap terpelihara. 
2.    Keringanan bagi umat serta kemudahan dalam membacanya, khususnya mempermudah suku-suku yang berbed logat/dialek di Arab.
3.    Membuktikan kemukjizatan al-Quran, karena dalam qira'at yang berbeda ternyata bisa memunculkan istinbat jenis hukum yang berbeda pula. Contoh dalam masalah ini adalah lafadhz : " wa arjulakum" dalam al-Maidah ayat 6, yang juga bisa dibaca dalam qira’ah lain dengan "wa arjulikum ". Maka yang pertama menunjukkan hukum mencuci kedua kaki dalam wudhu. Sementara yang kedua menunjukkan hukum mengusap ( al-mash) kedua kaki  dalam khuf atau sejenis sepatu.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ
4.    Qira'ah yang satu bisa ikut menjelaskan / menafsirkan qira'ah lain yang masih belum jelas maknanya.   Contoh masalah ini: dalam surat Jumat ayat 9,
يَا أَّيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
lafal " Fas'au ", asli katanya berarti berjalanlah dengan cepat, tetapi ini kemudian diterangkan dengan qira'ah lain : " famdhou" yang berarti pergilah , bukan larilah. [10]
Untuk menangkal penyelewengan qira'at yang sudah muncul, para ulama membuat persyaratan-persyaratan bagi qira'at yang dapat diterima. Untuk membedakan antara yang benar dan qira'at yang aneh (syazzah), para ulama membuat tiga syarat bagi qira'at yang benar. Pertama, qira'at itu sesuai dengan bahasa arab. Kedua, qira'at itu sesuai dengan salah satu mushaf-mushaf utsmani. Ketiga, bahwa sahih sanadnya. Setiap qira'at yang memenuhi kriteria di atas adalah qira'at yang benar yang tidak boleh ditolak dan harus diterima. Namun bila kurang dari ketiga syarat diatas disebut qira'at yang lemah.[11]


[1]Manna Khallil al-Qattan terj. Mudzakir AS, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, Jakarta: Litera AntarNusa, 2011, hlm. 247
[2]Allamah Sayyid Muhammad Hussain Thabathaba'i  terj. A. Malik Madaniy dan Hamim Ilyas, Mengungkap Rahasia al-Qur'an, Bandung: Mizan, 1998, hlm. 137-139
[3]Zainal Abidin S, Seluk-Beluk al-Qur'an, Bandung: Rineka Cipta, 1992, hlm. 124
[4]M. Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an /Tafsir, Jakarta: Bulan Bintang, 1992, hlm. 68
[5]M. M. Al A’zami, Sejarah Teks Al-Qur’an, Dari Wahyu Sampai Kompilasi, terj. Sohirin Solihin dkk, Jakarta : Gema Insani Press, 2005, hlm. 73.
[6]Ahmad Von Denffer, 'Ulum al-Qur'an An Introduction to Sciences of the Qur'an, Liecester: The Islamic Foundation, 1989. hlm. 73
[7] ibid
[8]Rosihon Anwar, Ulumul Qur’an, Bandung: Pustaka Setia. 2006, hlm. 157
[9]M. M. Al A’zami, Op.Cit, hlm. 74.
[10]Muhammad Chirzin, Al-Qur’an dan Ulumul Qur’an, Jakarta : Dana Bhakti Prima Yasa, 1998, hlm. 92.
[11]Ahmad Von Denffer, Op.Cit, hlm. 84

No comments:

Post a Comment