QIRA'AT DAN SAB'AH HURUF
A. Hakikat Qira’at Dan Sab'ah Huruf
Secara bahasa,
kata qira'at berasal dari jamak kata qira'ah yang berarti “bacaan”, kata tersebut
merupakan bentuk mashdar dari fi’il
madhi. Secara istilah, Ilmu qira'at adalah “Ilmu mengenai
cara melafadzkan al-Qur’an yang disertai perbedaan pembacaannya menurut versi
orang yang mengucapkannya. Qira'at ditetapkan berdasarkan sanad-sanadnya
sampai kepada Rasulullah. Para sahabat yang terkenal mengajarkan qira'at
adalah Ubai, Ali, Zaid bin Tsabit, Ibnu Mas'ud, Abu Musa al-'Asy'ari dan
lain-lain.[1]
Menurut Allamah
Sayyid Muhammad Hussain Thabathaba'i berdasarkan pada hadits mutawatir yang
diriwayatkan oleh 21 orang sahabat yang berbunyi:
نَزَلَ القُرآن عَلَى سَبْعَةِ اَحْرُفٍ
Al-Qur'an diturunkan dengan memakai
tujuh huruf (H.R. Bukhari dan Muslim).
Menurut beliau bahwasanya
ulama Syi'ah lebih condong pada pendapat bahwa tujuh huruf maksudnya tujuh qira'at
yang dipakai oleh tujuh imam qira'at yaitu:
1. Ibnu
Katsir dari Mekkah, dengan dua orang perawinya adalah Qanbul dan Bizzi.
2. Nafi'
dari Madinah dengan dua orang perawinya adalah Qalun dan Warasy.
3. Ashim
dari Kufah dengan dua orang perawinya adalah Abu Bakar Syu'bah bin al-'Iyasy
dan Hafs. Al-Qur'an yang dipakai kaum muslimin dewasa ini adalah memakai
qira'ah Ashim yang diriwayatkan oleh Hafs.
4. Hamzah
dari Kufah dengan dua orang perawinya adalah Khalf dan Khallad.
5. Al-Kisa'i
dari Kufah dengan dua orang perawinya adalah Dauri dan Abu Harits.
6. Abu
'Amr bin al-'Ala' dari Baseah dengan dua orang perawinya adalah Dauri dan Sausi.
Sedangkan menurut
Zainal Abidin. S hadits tersebut hampir mencapai derajat mutawatir dan menurut
beliau yang dimaksud dengan qira'at sab'ah huruf adalah mushaf
dengan rasm Usmani yaitu telah meliputi huruf yang tujuh dan memuat
bacaan terakhir yang dibacakan Nabi saw kepada Jibril tanpa meninggalkan satu huruf pun. [3]
Adapun pendapat-pendapat
yang lain adalah:
1. Al-Qur’an
mengandung tujuh bahasa Arab yang memiliki satu makna. Seperti aqbil, ta’al,
halumma, ‘ajjil, asri’ yang memiliki satu makna yaitu ‘datang kemari’.
2. Tujuh
dialek bahasa kabilah Arab yaitu Qurays, Hudzail, Tamim, Tasqif, Hawazin,
Kinanah dan Yaman.
3. Tujuh
aspek kewahyuan seperti perintah, larangan, janji, halal, haram, muhkam,
mutasyabih dan amtsal.
4. Tujuh
perubahan perbedaan yaitu ism, i’rab, tashrif, taqdim dan ta’khir,
tabdil dan tafkhim.
5. Tujuh
huruf diartikan bilangan yang sempurna seperti 70, 700, 7000 dan seterusnya.
6. Tujuh
Qira’at yang disebut dengan qira’ah sab’ah.
Menurut
M. M. Al A’zami bahwa
qira’at
al-Qur’an, khususnya istilah ‘qira’ah sab’ah’ sering dimaknai dan
dikorelasikan identik dengan ‘Tujuh Huruf’, tetapi pendapat ini tidak kuat.
Meski demikian, istilah ‘Tujuh Huruf’ merupakan salah satu sebab munculnya multiple
reading (banyak bacaan) al-Qur’an. [5]
Contohnya
terdapat pada rasm utsmani dalam surat al-Ma’idah ayat 82 : kata qissiisiina yang berarti
para rahib (pendeta), berbeda dengan bacaan ‘Ubay bin Ka’b, yaitu shiddiiqiina (yang membenarkan). Dua perbedaan ini dibenarkan oleh Nabi saw. [6]
لَتَجِدَنَّ أَشَدَّ النَّاسِ عَدَاوَةً
لِلَّذِينَ آمَنُوا الْيَهُودَ وَالَّذِينَ أَشْرَكُوا وَلَتَجِدَنَّ أَقْرَبَهُمْ
مَوَدَّةً لِلَّذِينَ آمَنُوا الَّذِينَ قَالُوا إِنَّا نَصَارَى ذَلِكَ بِأَنَّ
مِنْهُمْ قِسِّيسِينَ وَرُهْبَانًا وَأَنَّهُمْ لا يَسْتَكْبِرُونَ
Begitu juga pada
surat al-Baqarah ayat 9, kata yukhaadi’u
tertulis dalam al-Qur’an Jordania, yakhda’uuna. [7]
يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَالَّذِينَ
آمَنُوا وَمَا يَخْدَعُونَ إِلا أَنْفُسَهُمْ وَمَا يَشْعُرُونَ
B.
Latar
Belakang Timbulnya Perbedaan Qira'at
Qira’at
sebenarnya telah
muncul sejak zaman Nabi walaupun pada saat itu qira’at bukan merupakan
sebuah disiplin ilmu, ada beberapa riwayat yang dapat mendukung asumsi ini,
yaitu :
Suatu
ketika Umar bin Khathtab menemukan perbedaan pembacaan ayat al-Qur’an. Kemudian
peristiwa perbedaan membaca ini mereka laporkan ke Rasulullah saw. Maka
beliau menjawab dengan sabdanya, yang artinya :
“Memang
begitulah Al-Qur’an diturunkan. Sesungguhnya Al-Qur’an ini diturunkan
dalam tujuh huruf, maka bacalah oleh kalian apa yang kalian anggap mudah dari
tujuh huruf itu, (H.R. Bukhari).”
[8]
Menurut
catatan sejarah, timbulnya penyebaran qira’at
dimulai pada masa tabi’in, yaitu pad awal abad II H, tatkala para qari’ tersebar di berbagai
pelosok, telah tersebar di berbagai pelosok. Mereka lebih suka mengemukakan qira’at gurunya daripada
mengikuti qira’at
imam-imam lainnya. Qira’at-qira’at
tersebut diajarkan secara turun-menurun dari guru ke murid.
Timbulnya
sebab lain dengan penyebaran qori’-qori’
keberbagai penjuru pada masa Abu Bakar, maka timbullah qira’at yang beragam.
Lebih-lebih setelah terjadinya transformasi bahasa dan akulturasi akibat
bersentuhan dengan bangsa-bangsa bukan arab, yang pada akhirnya perbedaan qira’at
itu berada pada kondisi itu secara tepat.
Pendapat yang lain
menyatakan bahwa cara baca al-Qur’an yang beragam disebabkan beberapa hal utama
yaitu:
1. Perbedaan karena tidak ada tanda
titik.
Contohnya
pada surat al-Baqarah ayat 222.
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ
هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ وَلا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ
فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ
التَّوَّابِينَ وَيُحِب ُّ الْمُتَطَهِّرِينَ
Kata
yang digaris bawahi bisa dibaca “yathurna” dan bisa dibaca “yatthoh-har-na”.
jika dibaca qiraat pertama, maka berarti :
“dan
jangalah kamu mendekati mereka (istri-istrimu) sampai mereka suci (berhenti
dari haidh tanpa mandi terlebih dahulu).
Sedangkan
qiraat kedua berarti:
“dan
janganlah kamu mendekati mereka (istri-istrimu) sampai mereka bersuci (berhenti
dari haidh dan telah mandi wajib terlebih dahulu).”
C.
Hikmah
Perbedaan Qira'at
Dalam keragaman cara
baca al-Qur’an, dapat diambil beberapa hikmah yang berguna sebagai tanda
keotentikan al-Qur’an :
1. Bukti
yang jelas tentang keterjagaan al-Quran dari perubahan dan penyimpangan,
meskipun mempunyai banyak qira'at tetapi tetap terpelihara.
2. Keringanan
bagi umat serta kemudahan dalam membacanya, khususnya mempermudah suku-suku
yang berbed logat/dialek di Arab.
3. Membuktikan
kemukjizatan al-Quran, karena dalam qira'at yang berbeda ternyata bisa
memunculkan istinbat jenis hukum yang berbeda pula. Contoh dalam masalah ini
adalah lafadhz : " wa arjulakum" dalam al-Maidah ayat 6, yang
juga bisa dibaca dalam qira’ah lain dengan "wa arjulikum
". Maka yang pertama menunjukkan hukum mencuci kedua kaki dalam wudhu.
Sementara yang kedua menunjukkan hukum mengusap ( al-mash) kedua
kaki dalam khuf atau sejenis sepatu.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا
قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى
الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ
4. Qira'ah yang satu bisa ikut
menjelaskan / menafsirkan qira'ah lain yang masih belum jelas
maknanya. Contoh masalah ini: dalam
surat Jumat ayat 9,
يَا أَّيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
إِذَا نُودِيَ لِلصَّلاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ
اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
lafal " Fas'au ", asli
katanya berarti berjalanlah dengan cepat, tetapi ini kemudian diterangkan
dengan qira'ah lain : " famdhou" yang berarti pergilah
, bukan larilah. [10]
Untuk menangkal penyelewengan qira'at yang sudah muncul,
para ulama membuat persyaratan-persyaratan bagi qira'at yang dapat diterima. Untuk membedakan
antara yang benar dan qira'at
yang aneh (syazzah), para ulama membuat tiga syarat bagi qira'at yang benar. Pertama, qira'at itu sesuai dengan
bahasa arab. Kedua,
qira'at itu
sesuai dengan salah satu mushaf-mushaf utsmani. Ketiga, bahwa sahih sanadnya. Setiap qira'at
yang memenuhi kriteria di atas adalah qira'at yang benar yang tidak boleh
ditolak dan harus diterima. Namun bila kurang dari ketiga syarat diatas disebut
qira'at yang lemah.[11]
[1]Manna Khallil
al-Qattan terj. Mudzakir AS, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, Jakarta: Litera AntarNusa,
2011, hlm. 247
[2]Allamah Sayyid Muhammad Hussain
Thabathaba'i terj. A. Malik Madaniy dan
Hamim Ilyas, Mengungkap Rahasia al-Qur'an, Bandung: Mizan, 1998, hlm.
137-139
[3]Zainal Abidin S, Seluk-Beluk al-Qur'an,
Bandung: Rineka Cipta, 1992, hlm. 124
[4]M. Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan
Pengantar Ilmu Al-Qur’an /Tafsir, Jakarta: Bulan Bintang, 1992, hlm. 68
[5]M. M. Al A’zami, Sejarah Teks
Al-Qur’an, Dari Wahyu Sampai Kompilasi, terj. Sohirin Solihin dkk, Jakarta
: Gema Insani Press, 2005, hlm. 73.
[6]Ahmad Von Denffer, 'Ulum al-Qur'an
An Introduction to Sciences of the Qur'an, Liecester: The Islamic
Foundation, 1989. hlm. 73
[8]Rosihon Anwar, Ulumul Qur’an, Bandung:
Pustaka Setia. 2006, hlm. 157
[9]M. M. Al A’zami, Op.Cit, hlm.
74.
[10]Muhammad Chirzin, Al-Qur’an dan
Ulumul Qur’an, Jakarta : Dana Bhakti Prima Yasa, 1998, hlm. 92.
[11]Ahmad Von Denffer, Op.Cit, hlm.
84
No comments:
Post a Comment