01 July 2016

Dzikir wa Nisyan الذِّكْرُ وَ النِّسْيَانُ




A.  Makna Dzikir
Menurut kamus Lisan al-Arab kata dzikir berarti;
الذِّكْرُ والذِّكْرى، بالكسر: نقيض النسيان
Dzikir artinya ingat: lawan kata dari lupa. Asal katanya adalah:
ذَكَرَ – يَذْكُرُ – ذِكْرٌ
Akar kata dzikir disebutkan dalam al-Quran sebanyak 115 kali.[1] Dalam arti sempit makna dzikir adalah mengucapkan tasbih, tahmid, tahlil, takbir, hauqalah, dan lain-lain. Sedangkan dalam arti luas makna dzikir adalah kesadaran akan kehadiran Allah kapan pun dan di mana pun, sehingga mendorong untuk melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.[2] Makna dzikir dalam al-Quran antara lain disebutkan sebagai berikut:
1. Dzikir dalam arti Shalat
Surat Thaha: 14
إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنَا فَاعْبُدْنِي وَأَقِمِ الصَّلاةَ لِذِكْرِي (طه:14)

“Sesungguhnya Aku Allah tidak ada Tuhan selain Aku maka sembahlah kalian akan Aku, dan dirikanlah shalat dalam rangka dzikir pada Ku”

Shalat yang bermakna dzikir adalah shalat yang dilakukan sesuai dengan tuntunan syari’ah. Shalat yang dilakukan dengan tulus dan bersih tanpa dicampuri unsur syirik dan menghadapkan diri kepada selain Allah.
Pada ayat yang lain dzikir bisa berarti shalat Jum'at:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِي لِلصَّلاَةِ مِن يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ (الجمعة:7)

"Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui".(al-Jumu'ah:7)

2. Dzikir dalam arti membaca al-Quran
Di dalam Surat al-Hijr: 9 Allah berfirman :
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
 “Sesungguhnya Kami lah yang menurunkan al-Quran dan sesungguhnya Kamilah yang memeliharanya.”
Allah dan manusia memelihara kemurnian al-Quran dari manupulasi pikiran dan tangan manusia yang usil. Bagi manusia dengan diberi kemudahan untuk menghafal al-Quran. Bagi manusia memelihara al-Quran dengan cara mengaktualisasikan nilai-nilai Qurani dalam seluruh aspek kehidupan. Orang yang arif pasti akan menjadikan al-Quran sebagai penerangan, para ahli fikir menjadikannya sebagai petunjuk.
Firman Allah Surat al-Nahl: 44
بِالْبَيِّنَاتِ وَالزُّبُرِ وَأَنزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
 “Keterangan dan kitab-kitab, dan Kami turunkan kepadamu al-Quran, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan”
3. Dzikir dalam arti ilmu
Allah berfirman dalam surat al-Nahl: 43
وَمَا أَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ إِلاَّ رِجَالاً نُّوحِي إِلَيْهِمْ فَاسْأَلُواْ أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ
 “Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.”
Ilmu sangat penting bagi kehidupan manusia. Manusia punya potensi mengembangkan ilmu. Allah menyiapkan sarana bagi manusia untuk mencari ilmu pengetahuan. Di dalam surat al-Nahl: 78 Allah berfirman :
وَاللَّهُ أَخْرَجَكُمْ مِنْ بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لاَ تَعْلَمُونَ شَيْئًا وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالأَبْصَارَ وَالأفْئِدَةَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ (النحل:78)
“Dan Dia Allah yang mengeluarkan kamu dari perut-perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui apa-apa, dan Allah menjadikan bagi kamu  pendengaran, penghlihatan dan fuad agar kamu  bersyukur" (al-Nahl:78)
4. Dzikir dalam arti menyebut Asma Allah
Firman Allah dalam surat  al-Ahzab: 41
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اذْكُرُوا اللَّهَ ذِكْرًا كَثِيرًا (الاحزاب:41)

"Hai orang-orang yang beriman, dzikirlah kepada Allah, dengan dzikir yang sebanyak-banyaknya." (al- Ahzab :41)
Dalam ayat yang lain Allah berfirman:
 ..فَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ.. (الحج:32)
“Maka sebutlah nama Allah (al-Hajj:32)”
5. Dzikir dalam arti mengingat Allah
Hakikat zikir adalah melupakan apa-apa selain yang disebut dalam dzikir.[3] Firman Allah dalam surat  al-Kahfi: 24
إِلاّ أَن يَشَاء اللَّهُ وَاذْكُر رَّبَّكَ إِذَا نَسِيتَ وَقُلْ عَسَى أَن يَهْدِيَنِ رَبِّي لِأَقْرَبَ مِنْ هَذَا رَشَدًا (الكهف:24)

Kecuali : "Insya Allah" . Dan ingatlah kepada Tuhanmu jika kamu lupa dan katakanlah: "Mudah-mudahan Tuhanku akan memberiku petunjuk kepada yang lebih dekat kebenarannya dari pada ini. (al- Kahfi :24)

B.  Makna Nisyan
Menurut kamus Lisan al-Arab kata nisyan berarti;
والنِّسيْان، بكسر النون: ضدّ الذِّكر والحِفظ ، نَسِيَه نِسْياً
Nisyan artinya lupa: lawan kata dari ingat. Asal katanya adalah:
نَسِيَ – يَنْسىَ– نِسْياَن
Kadang-kadang lupa memiliki manfaat, namun kadang-kadang bisa berakibat buruk. Lupa adalah ketidakmampuan mengenal atau mengingat sesuatu yang pernah diingat atau dialami, lupa bukanlah peristiwa hilangnya item informasi dan pengetahuan dari akal kita,[4] tapi memori yang menjadi tumpul karena kegugupan, kelemahan saraf-saraf, kegelisahan, kekhawatiran, ketakutan, dan kebingungan.[5] Penyebab lain adalah, pertama; apa yang dialami tidak pernah diulangi lagi, kedua adanya hambatan-hambatan yang terjadi karena gejala-gejala/ isi jiwa yang lain, ketiga; disebabkan oleh represi, yaitu  tanggapan yang tidak diinginkan ditekan ke dalam ketidaksadaran.[6] Dalam pendidikan diperlukan pengulangan agar menjadi terbiasa dan mudah dilakukan.[7]
Beberapa jenis lupa yang disebutkan dalam al-Qur'an adalah:
1. Lupa yang terjadi pada benak mengenai berbagai peristiwa, nama seseorang, dan informasi yang diperoleh seseorang sebelumnya.

Ini merupakan lupa normal yang menimpa seseorang akibat bertimbun dan berjalinnya informasi-informasi yang ada. Jenis lupa ini telah dikaji oleh para ahli ilmu jiwa dengan secara mendalam dan menurut mereka lupa ini terjadi akibat interferensi informasi. Mereka mengklasifikasikan interferensi menjadi dua jenis: “interferensi retroaktif” dan “interferensi lanjut”. Interferensi retroaktif terjadi ketika kita belajar materi-materi baru yang membuat melemahnya ingatan kita akan materi-materi yang telah kita pelajari sebelumnya. Interferensi lanjut terjadi akibat pengaruh kebiasaan, kegiatan, dan informasi lama kita dalam mengingat materi yang baru kita pelajari. Banyaknya informasi dan kegiatan sebelumnya membuat sulitnya kita untuk mengingat materi yang kita pelajari belakangan. Sementara ingatan kita terhadap materi baru itu akan lebih baik apabila informasi dan kegiatan kita lebih sedikit. Oleh karena itu, anak-anak lebih mampu untuk mengingat detail-detail berbagai peristiwa pada masa lalu ketimbang orang dewasa. Dalam al-Qur’an, jenis lupa ini diisyaratkan dalam firman Allah:

سَنُقْرِئُكَ فَلاَ تَنْسَى (6)

“Kami akan membacakan (al-Qur’an) kepdamu (Muhammad) maka kamu tidak akan lupa” (al-A’la: 6).

2. Lupa yang mengandung makna lalai.
Misalnya seseorang meninggalkan sesuatu di suatu tempat. Atau ia hendak berbincang-bincang dengan seseorang tentang berbagai hal, namun ia hanya ingat sebagiannya dan lupa sebagian lainnya, dan baru ingat kemudiannya. Sebagai contoh, ialah kisah tentang murid Musa as dalam firman-Nya:
قَالَ أَرَأَيْتَ إِذْ أَوَيْنَا إِلَى الصَّخْرَةِ فَإِنِّي نَسِيتُ الْحُوتَ وَمَا أَنْسَانِيهُ إِلاّ الشَّيْطَانُ أَنْ أَذْكُرَهُ وَاتَّخَذَ سَبِيلَهُ فِي الْبَحْرِ عَجَبًا (الكهف:63)

“Muridnya menjawab:“Tahukan kamu tatkala kita mencari tempat berlindung di batu tadi, maka sesungguhnya aku lupa (menceritakan tentang) ikan itu dan tidak adalah yang melupakan aku untuk menceritakannya kecuali syetan dan ikan itu mengambil jalannya ke laut dengan cara yang aneh sekali” (Al-Kahfi:63)
Contoh lainnya ialah ucapan Musa as pada hamba Allah yang shaleh:

قَالَ لاَ تُؤَاخِذْنِي بِمَا نَسِيتُ وَلاَ تُرْهِقْنِي مِنْ أَمْرِي عُسْرًا (الكهف:73)
 “Musa berkata: "Janganlah kamu menghukum aku karena kelupaanku dan janganlah kamu membebani aku dengan sesuatu kesulitan dalam urusanku".” (al-Kahfi:73).

Jenis lupa ini bisa diinterpretasikan sebagai interferensi lanjut yang telah dikemukakan di muka.
3. Lupa dengan pengertian hilangnya perhatian terhadap sesuatu hal
Contohnya ialah apa yang terkandung dalam firman Allah berikut:
الْمُنَافِقُونَ وَالْمُنَافِقَاتُ بَعْضُهُم مِّن بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمُنكَرِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمَعْرُوفِ وَيَقْبِضُونَ أَيْدِيَهُمْ نَسُواْ اللّهَ فَنَسِيَهُمْ إِنَّ الْمُنَافِقِينَ هُمُ الْفَاسِقُونَ (التوبة: 67)

Orang-orang munafik laki-laki dan perempuan, sebagian dengan sebagian yang lain adalah sama, mereka menyuruh membuat yang munkar dan melarang berbuat yang ma'ruf dan mereka menggenggamkan tangannya, mereka telah lupa kepada Allah, maka Allah melupakan mereka. Sesungguhnya orang-orang munafik itu adalah orang-orang yang fasik. (al-Taubah :67).

Pengertian “mereka telah lupa kepada Allah” ialah mereka meninggalkan ketaatan kepada-Nya akibat hilangnya perhatian mereka kepada perintah-perintah-Nya. Dan pengertian “maka Allah melupakan mereka” ialah Allah mengalihkan karunia-Nya dari mereka dan menterlantarkan mereka.
Contoh lain dari jenis lupa ini ialah apa yang terkandung dalam firman Allah yang berikut:
وَلاَ تَكُونُوا كَالَّذِينَ نَسُوا اللَّهَ فَأَنسَاهُمْ أَنفُسَهُمْ أُوْلَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ (الحشر: 19)
 Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik.” (al-Hasyr:19).

Masuk dalam pengertian ini adalah lupa yang diatributkan pada Adam as dalam firman-Nya:
وَلَقَدْ عَهِدْنَا إِلَى آدَمَ مِن قَبْلُ فَنَسِيَ وَلَمْ نَجِدْ لَهُ عَزْمًا (طه: 115)

“Dan sesungguhnya telah Kami perintahkan kepada Adam dahulu, maka ia lupa (akan perintah itu), dan tidak kami dapati padanya kemauan yang kuat” (Thaha:115).

Ini mengandung arti bahwa Adam as “telah lalai tentang perjanjian dengan Allah”. Akibatnya, ia pun lupa akan larangan Allah. Maka, syetan pun menggodanya dan menjerumuskannya dalam kesalahan.




[1] Khoirul Amru Harahap dan Reza Pahlevi Dalimunthe, Dahsyatnya Doa dan Dzikir, (Jakarta: Qultum Media, 2008),  hlm.4.
[2] ibid, hlm.8-9.
[3] ibid, hlm.10.
[4] Muhibbin Syah, Psikologi Belajar, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2010), hlm.170.
[5] Inayat Khan, Dimensi Spiritual Psikologi, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2000) hlm.93.
[6] Ngalim Purwanto, Psikologi Pendidikan, (Bandung: Rosda Karya, 2007), hlm.112.
[7] Abuddin Nata, Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2010) hlm.264.

No comments:

Post a Comment