A. Makna Dzikir
Menurut kamus Lisan al-Arab kata dzikir berarti;
الذِّكْرُ
والذِّكْرى، بالكسر: نقيض النسيان
Dzikir artinya ingat:
lawan kata dari lupa. Asal katanya adalah:
ذَكَرَ – يَذْكُرُ – ذِكْرٌ
Akar kata dzikir disebutkan dalam al-Quran
sebanyak 115 kali.[1] Dalam arti sempit makna dzikir adalah
mengucapkan tasbih, tahmid, tahlil, takbir, hauqalah, dan lain-lain.
Sedangkan dalam arti luas makna dzikir adalah kesadaran akan kehadiran Allah
kapan pun dan di mana pun, sehingga mendorong untuk melaksanakan perintah-Nya
dan menjauhi larangan-Nya.[2] Makna dzikir
dalam al-Quran antara lain disebutkan sebagai berikut:
1. Dzikir dalam arti Shalat
Surat Thaha: 14
إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ لاَ
إِلَهَ إِلاَّ أَنَا فَاعْبُدْنِي وَأَقِمِ الصَّلاةَ لِذِكْرِي (طه:14)
“Sesungguhnya Aku Allah tidak ada Tuhan selain Aku maka
sembahlah kalian akan Aku, dan dirikanlah shalat dalam rangka dzikir pada Ku”
Shalat yang bermakna dzikir adalah shalat yang
dilakukan sesuai dengan tuntunan syari’ah. Shalat yang dilakukan dengan tulus
dan bersih tanpa dicampuri unsur syirik dan menghadapkan diri kepada selain
Allah.
Pada ayat yang lain dzikir bisa berarti shalat Jum'at:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِي لِلصَّلاَةِ مِن يَوْمِ الْجُمُعَةِ
فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن
كُنتُمْ تَعْلَمُونَ (الجمعة:7)
"Hai orang-orang beriman,
apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, maka bersegeralah kamu kepada
mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik
bagimu jika kamu mengetahui".(al-Jumu'ah:7)
2. Dzikir dalam arti membaca al-Quran
Di dalam Surat al-Hijr: 9 Allah
berfirman :
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
“Sesungguhnya Kami lah yang menurunkan al-Quran dan
sesungguhnya Kamilah yang memeliharanya.”
Allah dan manusia memelihara kemurnian al-Quran dari
manupulasi pikiran dan tangan manusia yang usil. Bagi manusia dengan diberi
kemudahan untuk menghafal al-Quran. Bagi manusia memelihara al-Quran dengan
cara mengaktualisasikan nilai-nilai Qurani dalam seluruh aspek kehidupan. Orang
yang arif pasti akan menjadikan al-Quran sebagai penerangan, para ahli fikir
menjadikannya sebagai petunjuk.
Firman Allah Surat al-Nahl: 44
بِالْبَيِّنَاتِ وَالزُّبُرِ وَأَنزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ
لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
“Keterangan dan kitab-kitab, dan Kami turunkan kepadamu al-Quran,
agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada
mereka dan supaya mereka memikirkan”
3.
Dzikir dalam arti ilmu
Allah
berfirman dalam surat al-Nahl: 43
وَمَا أَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ إِلاَّ رِجَالاً نُّوحِي إِلَيْهِمْ
فَاسْأَلُواْ أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ
“Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang
lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang
mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.”
Ilmu sangat penting bagi kehidupan manusia. Manusia punya
potensi mengembangkan ilmu. Allah menyiapkan sarana bagi manusia untuk mencari
ilmu pengetahuan. Di dalam surat al-Nahl: 78 Allah berfirman :
وَاللَّهُ أَخْرَجَكُمْ مِنْ
بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لاَ تَعْلَمُونَ شَيْئًا وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالأَبْصَارَ
وَالأفْئِدَةَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ (النحل:78)
“Dan Dia Allah
yang mengeluarkan kamu dari perut-perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui apa-apa,
dan Allah menjadikan bagi kamu pendengaran, penghlihatan dan fuad agar
kamu bersyukur" (al-Nahl:78)
4.
Dzikir dalam arti menyebut Asma Allah
Firman
Allah dalam surat al-Ahzab: 41
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
اذْكُرُوا اللَّهَ ذِكْرًا كَثِيرًا (الاحزاب:41)
"Hai orang-orang yang beriman, dzikirlah kepada Allah, dengan
dzikir yang sebanyak-banyaknya." (al- Ahzab :41)
Dalam
ayat yang lain Allah berfirman:
..فَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ.. (الحج:32)
“Maka sebutlah nama Allah (al-Hajj:32)”
5.
Dzikir dalam arti mengingat Allah
Hakikat
zikir adalah melupakan apa-apa selain yang disebut dalam dzikir.[3] Firman Allah dalam surat
al-Kahfi: 24
إِلاّ أَن يَشَاء اللَّهُ وَاذْكُر
رَّبَّكَ إِذَا نَسِيتَ وَقُلْ عَسَى أَن يَهْدِيَنِ رَبِّي لِأَقْرَبَ مِنْ هَذَا
رَشَدًا (الكهف:24)
Kecuali : "Insya
Allah" . Dan ingatlah kepada Tuhanmu jika kamu lupa dan katakanlah:
"Mudah-mudahan Tuhanku akan memberiku petunjuk kepada yang lebih dekat
kebenarannya dari pada ini. (al- Kahfi :24)
B. Makna Nisyan
Menurut
kamus Lisan al-Arab kata nisyan berarti;
والنِّسيْان، بكسر
النون: ضدّ الذِّكر والحِفظ ، نَسِيَه نِسْياً
Nisyan
artinya lupa: lawan kata dari ingat. Asal katanya adalah:
نَسِيَ – يَنْسىَ– نِسْياَن
Kadang-kadang
lupa memiliki manfaat, namun kadang-kadang bisa berakibat buruk. Lupa adalah
ketidakmampuan mengenal atau mengingat sesuatu yang pernah diingat atau
dialami, lupa bukanlah peristiwa hilangnya item informasi dan pengetahuan dari
akal kita,[4]
tapi memori yang menjadi tumpul karena kegugupan, kelemahan saraf-saraf, kegelisahan,
kekhawatiran, ketakutan, dan kebingungan.[5]
Penyebab lain adalah, pertama; apa yang dialami tidak pernah diulangi lagi,
kedua adanya hambatan-hambatan yang terjadi karena gejala-gejala/ isi jiwa yang
lain, ketiga; disebabkan oleh represi, yaitu tanggapan yang tidak diinginkan ditekan ke dalam
ketidaksadaran.[6] Dalam
pendidikan diperlukan pengulangan agar menjadi terbiasa dan mudah dilakukan.[7]
Beberapa jenis
lupa yang disebutkan dalam al-Qur'an adalah:
1. Lupa yang
terjadi pada benak mengenai berbagai peristiwa, nama seseorang, dan informasi
yang diperoleh seseorang sebelumnya.
Ini merupakan
lupa normal yang menimpa seseorang akibat bertimbun dan berjalinnya
informasi-informasi yang ada. Jenis lupa ini telah dikaji oleh para ahli ilmu
jiwa dengan secara mendalam dan menurut mereka lupa ini terjadi akibat
interferensi informasi. Mereka mengklasifikasikan interferensi menjadi dua
jenis: “interferensi retroaktif” dan “interferensi lanjut”. Interferensi
retroaktif terjadi ketika kita belajar materi-materi baru yang membuat
melemahnya ingatan kita akan materi-materi yang telah kita pelajari sebelumnya.
Interferensi lanjut terjadi akibat pengaruh kebiasaan, kegiatan, dan informasi
lama kita dalam mengingat materi yang baru kita pelajari. Banyaknya informasi
dan kegiatan sebelumnya membuat sulitnya kita untuk mengingat materi yang kita
pelajari belakangan. Sementara ingatan kita terhadap materi baru itu akan lebih
baik apabila informasi dan kegiatan kita lebih sedikit. Oleh karena itu,
anak-anak lebih mampu untuk mengingat detail-detail berbagai peristiwa pada
masa lalu ketimbang orang dewasa. Dalam al-Qur’an, jenis lupa ini diisyaratkan
dalam firman Allah:
سَنُقْرِئُكَ فَلاَ تَنْسَى (6)
“Kami akan
membacakan (al-Qur’an) kepdamu (Muhammad) maka kamu tidak akan lupa” (al-A’la: 6).
2. Lupa yang mengandung makna
lalai.
Misalnya
seseorang meninggalkan sesuatu di suatu tempat. Atau ia hendak
berbincang-bincang dengan seseorang tentang berbagai hal, namun ia hanya ingat
sebagiannya dan lupa sebagian lainnya, dan baru ingat kemudiannya. Sebagai
contoh, ialah kisah tentang murid Musa as dalam firman-Nya:
قَالَ
أَرَأَيْتَ إِذْ أَوَيْنَا إِلَى الصَّخْرَةِ فَإِنِّي نَسِيتُ الْحُوتَ وَمَا
أَنْسَانِيهُ إِلاّ الشَّيْطَانُ أَنْ أَذْكُرَهُ وَاتَّخَذَ سَبِيلَهُ فِي
الْبَحْرِ عَجَبًا (الكهف:63)
“Muridnya
menjawab:“Tahukan kamu tatkala kita mencari tempat berlindung di batu tadi,
maka sesungguhnya aku lupa (menceritakan tentang) ikan itu dan tidak adalah
yang melupakan aku untuk menceritakannya kecuali syetan dan ikan itu mengambil
jalannya ke laut dengan cara yang aneh sekali” (Al-Kahfi:63)
Contoh lainnya ialah ucapan Musa
as pada hamba Allah yang shaleh:
قَالَ لاَ تُؤَاخِذْنِي بِمَا نَسِيتُ وَلاَ تُرْهِقْنِي مِنْ
أَمْرِي عُسْرًا (الكهف:73)
“Musa
berkata: "Janganlah kamu menghukum aku karena kelupaanku dan janganlah
kamu membebani aku dengan sesuatu kesulitan dalam urusanku".” (al-Kahfi:73).
Jenis lupa ini
bisa diinterpretasikan sebagai interferensi lanjut yang telah dikemukakan di muka.
3.
Lupa dengan pengertian hilangnya perhatian terhadap sesuatu hal
Contohnya
ialah apa yang terkandung dalam firman Allah berikut:
الْمُنَافِقُونَ وَالْمُنَافِقَاتُ
بَعْضُهُم مِّن بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمُنكَرِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمَعْرُوفِ
وَيَقْبِضُونَ أَيْدِيَهُمْ نَسُواْ اللّهَ فَنَسِيَهُمْ إِنَّ الْمُنَافِقِينَ
هُمُ الْفَاسِقُونَ (التوبة: 67)
“Orang-orang munafik laki-laki dan
perempuan, sebagian dengan sebagian yang lain adalah sama, mereka menyuruh
membuat yang munkar dan melarang berbuat yang ma'ruf dan mereka menggenggamkan
tangannya, mereka telah lupa kepada Allah, maka Allah melupakan mereka.
Sesungguhnya orang-orang munafik itu adalah orang-orang yang fasik. (al-Taubah
:67).
Pengertian
“mereka telah lupa kepada Allah” ialah mereka meninggalkan ketaatan kepada-Nya
akibat hilangnya perhatian mereka kepada perintah-perintah-Nya. Dan pengertian
“maka Allah melupakan mereka” ialah Allah mengalihkan karunia-Nya dari mereka
dan menterlantarkan mereka.
Contoh lain dari jenis lupa ini ialah apa yang terkandung dalam firman Allah yang berikut:
Contoh lain dari jenis lupa ini ialah apa yang terkandung dalam firman Allah yang berikut:
وَلاَ تَكُونُوا كَالَّذِينَ نَسُوا
اللَّهَ فَأَنسَاهُمْ أَنفُسَهُمْ أُوْلَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ (الحشر: 19)
“Dan janganlah kamu seperti orang-orang
yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada mereka
sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik.”
(al-Hasyr:19).
Masuk dalam
pengertian ini adalah lupa yang diatributkan pada Adam as dalam
firman-Nya:
وَلَقَدْ
عَهِدْنَا إِلَى آدَمَ مِن قَبْلُ فَنَسِيَ وَلَمْ نَجِدْ لَهُ عَزْمًا (طه: 115)
“Dan
sesungguhnya telah Kami perintahkan kepada Adam dahulu, maka ia lupa (akan
perintah itu), dan tidak kami dapati padanya kemauan yang kuat” (Thaha:115).
Ini mengandung
arti bahwa Adam as “telah lalai tentang perjanjian dengan Allah”. Akibatnya, ia
pun lupa akan larangan Allah. Maka, syetan pun menggodanya dan menjerumuskannya
dalam kesalahan.
[1] Khoirul Amru
Harahap dan Reza Pahlevi Dalimunthe, Dahsyatnya Doa dan Dzikir, (Jakarta:
Qultum Media, 2008), hlm.4.
[2] ibid,
hlm.8-9.
[3] ibid, hlm.10.
[4] Muhibbin Syah, Psikologi
Belajar, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2010), hlm.170.
[5] Inayat Khan, Dimensi
Spiritual Psikologi, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2000) hlm.93.
[6] Ngalim
Purwanto, Psikologi Pendidikan, (Bandung: Rosda Karya, 2007), hlm.112.
[7] Abuddin Nata, Tafsir
Ayat-Ayat Pendidikan, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2010) hlm.264.
No comments:
Post a Comment