29 December 2012

MEMPERKUAT KEDUDUKAN MATA PELAJARAN PAI DALAM UN (UJIAN NASIONAL)


A.   PENDAHULUAN

Pendidikan merupakan kunci kemajuan dan kesuksesan masa depan suatu bangsa, itu pulalah yang menyebabkan pemimpin Jepang paska bom Hiroshima dan Nagasaki menanyakan berapa orangkah guru yang masih tertinggal dan selamat. Pendidikan merupakan pembimbigan seseorang kearah dewasa, baik secara biologis, ekonomis dan sosiologis. Seseorang yang dewasa harus mempunyai skill life atau kecakapan hidup sehingga dia tidak menjadi beban bagi orang lain. Untuk mendapatkan keterampilan (skill laife) tentu harus melalui proses yang tidak sebentar, proses tersebut dinamakan dengan proses belajar.
Belajar adalah terminologi yang digunakan untuk menggambarkan proses meliputi perubahan melalui pengalaman. Proses perubahan tersebut secara relative untuk memperoleh penambahan permanen dalam pemahaman, sikap, pengetahuan, informasi, kemampuan dan ketrampilan melalui pengalaman[1]
Menurut Skiner Belajar juga diartikan sebagai suatu proses adaptasi atau penyesuaian tingkah laku yang berlangsung secara progresif.[2]
Pendidikan Islam merupakan pendidikan yang didasarkan pada nilai-nilai ajaran Islam sebagaimana tercantum dalam al-Qur’an dan al-Hadits serta dalam pemikiran para ulama dan dalam praktik sejarah umat Islam[3].
Al-qur’an dan hadits merupakan sumber ajaran Islam yang pertama dan utama yang didalamnya mengandung berbagai macam aspek kehidupan yang patut di contoh dan diteladani kita sebagai umatnya. Dalam prakteknya memang pendidikan Agama atau dalam hal ini Agama Islam menuntut dan merujuk kepada tujuan utama dari pendidikan Islam yaitu pemebentukan akhlak yang mulia.

Pendidikan Agama Islam mempunyai tujuan yang pada akhirnya yaitu pembentukan terhadap akhlak mulia seseorang[4]. Atas dasar itu maka seyogyanya juga PAI sudah patut dan layak masuk ke dalam ranah UN, sebab akhir akhir ini banyak siswa dimana mana yang sudah tidak kenal lagi dengan kepribadian dirinya, agamanya bahkan sampai kepribadian bangsanya. Ini terbukti dengan banyaknya tawuran disana sini, termasuk juga dengan adanya yang baru yaitu beberapa orang siswa SMA secara bergotong royong untuk melakukan arisan seks bersama dengan PSK yang terjadi di Surabaya.
Hal tersebut juga ditenggarai oleh kurang dan minimnya pembelajaran PAI di sekolah ditambah lagi dengan kurangnya tanggungjawab orang tua terhadap pendidikan agama anaknya.
Untuk itu dalam makalah ini perlu kiranya di bahas tentang mendorong kedudukan mata pelajaran PAI dalam kancah pendidikan di Indonesia yaitu dengan mendorong untuk menjadi mata pelajaran yang di UN kan, dalam rangka memperbaiki akhlak bangsa yang semakin lama semakin semerawut dan memprihatinkan.
Dari uraian diatas ada beberapa pertanyaan pada maklah ini yaitu; (1). Apa Pengertian Memperkuat Kedudukan mata pelajaran PAI dalam Ujian Nasional? (2). Bagaimana Problematika mata pelajaran PAI dalam Ujian Nasional?. Dengan tujuan yaitu: (1). Untuk mengetahui pengertian Memperkuat Kedudukan mata pelajaran PAI dalam Ujian Nasional. (2). Untuk mengetahui problematika mata pelajaran PAI dalam Ujian Nasional (pro dan kontra). Dan karna keterbatasan waktu, biaya dan lain sebagainya maka, penulisan dan pembahasan pada  makalah ini dibatasi hanya pada pengertian tentang memperkuat kedudukan mata pelajaran PAI dalam Ujian Nasioanl dan problematika mata pelajaran PAI dalam Ujian Nasional baik yang pro maupun kontra.

B. PEMBAHASAN
1.    Pengertian
Dalam kamus besar bahasa Indonesia memperkuat berasal dari kata “kuat” yang berarti mampu, tahan, tidak mudah goyah, kencang dan kemudian  mendapatkan imbuhan depan me dan per  yang berarti menjadikan lebih kuat, memperkukuh, memperteguh, mempersangat[5]. Kedudukan diartikan sebagai tingkatan atau martabat dan atau status[6]. Dari penjelasan diatas bahwa yang dimaksud dengan memperkuat kedudukan mata pelajaran PAI dalam UN ialah menjadikan untuk lebih kuat dan menyamakan status mata pelajaran PAI dengan mata pelajaran lain (yang di UN kan) dengan mengikutsertakan nya dalam ujian nasional
2.  Problematika Mata Pelajaran PAI dalam Ujian Nasional
2.1 Pro PAI masuk ke UN
Dalam UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) disebutkan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara (Bab I Pasal 1)[7]. Itu artinya, penyelenggaraan proses pendidikan bukan hanya pada kecerdasan intelektual kognitif saja akan tetapi tidak juga bisa mengabaikan sisi kecerdasan sosial dan kecerdasan ruhani peserta didik.
Namun demikian, kenyataan yang terjadi selama ini, kecerdasan akademik lebih ditonjolkan dalam dunia pendidikan. Pendidikan yang mendewakan angka-angka menjadi primadona dalam dunia pendidikan. Padahal jelas, pendidikan tak hanya mengembangkan potensi kognitif semata, tetapi juga mengembangkan kepribadian dan membentuk akhlak mulia peserta didik. Pada titik ini, Pendidikan Agama Islam (PAI) sebenarnya berkontribusi melahirkan peserta didik yang memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, dan akhlak mulia.
Ketua MPR RI., Dr. H. Hidayat Nurwahid MA., mendesak Depdiknas untuk memasukkan mata pelajaran pendidikan agama Islam (PAI) dalam ujian nasional (UN). Diharapkan, masuknya PAI dalam UN bisa memperbaiki akhlak generasi muda, sekaligus menempatkan PAI dalam mata pelajaran strategis[8].
Pendapat ketua MPR ini didasarkan pengamatan pada saat pengumuman kelulusan UN banyak siswa yang melakukan corat-coret di baju bahkan rambutnya. Hal itu menandakan bukan keberhasilan pendidikan melainkan kegagalan sekolah dalam membentuk perilaku siswa. Kemudian beliau membandingkan dengan lulusan pesantren. Sampai sekarang belum terdengar adanya santri yang melakukan corat-coret setelah lulus UN atau tawuran antar pesantren. Menurut beliau, bahwa ini menandakan, dengan penanaman PAI yang baik dalam kehidupan akan membuat para santri bertingkah Islami. Seharusnya PAI juga bisa diterapkan di sekolah-sekolah layaknya pesantren.
2.2.        Kontra PAI dalam UN
Berbeda dengan pendapat di atas bahwa persoalan pendidikan agama sebenarnya tidak tergantung pada penilaiannya, melainkan ditentukan oleh prosesnya yang baik dan menarik. Dalam catatan J. Riberu, pendidikan agama yang kadang-kadang kurang menarik bagi siswa sebenarnya  bukan karena ajaran-ajaran agama tidak bernilai bagi peserta didik, melainkan karena cara penyajian yang kurang tepat[9]. Sesuai dengan pandangan ini, problem pendidikan agama tidak terletak pada cara penilaiannya, melainkan tergantung cara penyajiannya. Dengan demikian, substansi masalah pendidikan agama terletak pada persoalan metodologi, sehingga dalih pemerintah menyelenggarakan UN pendidikan agama untuk maksud mengangkat kedudukan pendidikan agama tidak tepat.
Berkaitan dengan alasan untuk meningkatkan mutu pendidikan agama, menurut Tasman bahwa, kebijakan UN pendidikan agama juga tidak berdasar yang kuat. Jika pemerintah memiliki komitmen untuk meningkatkan mutu pendidikan agama, seharusnya terlebih dahulu melakukan kajian secara ilmiah yang serius dengan melibatkan kalangan perguruan tinggi.  Dalam Laporan UNESCO The International Commission on Education for Twenty-first Century disebutkan bahwa "memperbaiki mutu pendidikan pertama-tama tergantung perbaikan perekrutan, pelatihan, status sosial, dan kondisi kerja para guru”[10].
Berdasar pernyataan tersebut, inti permasalahan dalam upaya peningkatan mutu pendidikan, termasuk pendidikan agama terletak pada mutu gurunya. Dengan demikian, untuk meningkatkan mutu pendidikan agama tentunya harus dimulai dari peningkatan mutu guru pendidikan agama.
Selain pertimbangan di atas, penyelenggaraan UN pendidikan agama belum memiliki dasar hukum yang kuat. Untuk penyelenggaraan UN pendidikan agama, karena melibatkan Kementerian Agama dan Kementerian Pendidikan Nasional perlu ada Surat Keputusan Bersama kedua kementerian. Lebih dari itu, proses penetapan kebijakan UN pendidikan agama juga perlu melibatkan stakeholders, termasuk para penyelenggara pendidikan swasta. Dengan demikian, penyelenggaraan UN pendidikan agama tidak terbebani muatan politik, apalagi kepentingan yang lain.
Meskipun pemerintah telah menetapkan Standar Nasional Pendidikan, tetapi tidak berarti bahwa hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa hususnya berkaitan dengan “keragaman materi” pendidikan agama sebagai realitas sosial bangsa Indonesia dinafikan. Kita dapat menerima adanya standar kurikulum pendidikan agama, tetapi satuan pendidikan dan penyelenggara pendidikan (khususnya pendidikan swasta) memiliki hak yang dijamin undang-undang, termasuk berhak memilih dan menentukan serta mengembangkan materi pelajaran agama.      
Jika pendidikan agama diujikan secara nasional berarti dilakukan penyeragaman bukan hanya dalam standar kompetensi, tetapi juga dalam materi pelajaran, sehingga hak satuan pendidikan dan penyelenggara pendidikan tersebut  diabaikan. Dengan demikian, kebijakan UN pendidikan agama tidak sejalan dengan prinsip penyelenggaraan pendidikan sebagaimana diamanatkan dalam undang-undang nomor 20 tahun 2003 tersebut.
Siapapun akan sepakat dan mendukung atas setiap usaha untuk meningkatkan mutu pendidikan, termasuk pendidikan agama. Segala upaya peningkatan mutu pendidikan agama seharusnya dilaksanakan secara sistematis dan memiliki kerangka dasar yang jelas. Sebab, upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan agama yang tidak memiliki landasan yang kuat, sebagaimana halnya kebijakan UN pendidikan agama justru kontraproduktif, merugikan masyarakat, dan pemborosan uang negara.









C. PENUTUP
1.    Kesimpulan
a.    memperkuat kedudukan mata pelajaran PAI dalam UN ialah menjadikan untuk lebih kuat dan menyamakan status mata pelajaran PAI dengan mata pelajaran lain (yang di UN kan) dengan mengikutsertakan nya dalam ujian nasional.
b.    Secara politik jika mata pelajaran PAI masuk kedalam daftar mata pelajaran yang di UN kan, maka umat Islam akan menang.
2.    Saran-Saran
a.    Bagi teman teman para pembaca tentu makalah ini banyak sekali kekurangan di sana sini, untuk itu perlu kritik dan saran sebagai bahan untuk perbaikan demi perkembangan ilmu pengetahuan.
b.    Bagi guru PAI, bahwa jika mata pelajaran PAI masuk kedalam mata pelajaran yang di UN kan, maka kita sudah sepantasnya untuk menyiapkan segala sesuatu yang diperlukan.








DAFTAR PUSTAKA



Darajat Zakia, Bunga Rampai Pendidikan Agama Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1980.

Fathurohman Pupuh, Strategi Belajar Mengajar Melalui Penanaman konsep Umum dan Konsep Islam, Jakarta: Reflika Aditama, 2011.

Hamami Tasman,: disampaikan dalam Saresehan USBN Pendidikan Agama yang diselenggarakan oleh Majelis Dikdasmen PWM DIY, Diunduh dari http.www.makalah PAI masuk dalam UN, tgl 4 Desember 2012.

http:www.wikipedia Pernah di muat di Harian Pikiran Rakyat, 7 Juli 2007. Diunduh dari. Mata Pelajaran PAI masuk UN?. pada tanggal 2 Desember 2012

Nata Abudin, Manajemen Pendidikan, Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media Group, 2008).

Roestiyah, Strategi Belajar Mengajar, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2001,

UU SISDIKNAS, 2003












MAKALAH
MEMPERKUAT KEDUDUKAN
MATA PELAJARAN PAI DALAM UN (UJIAN NASIONAL)

Diajukan Untuk memenuhi Salah Satu Tugas Individu Pada Mata Kuliah
Pengembangan Materi Ajar dan Kurikulum PAI

Dosen Pengampu
1.       Dr. Muhajir, MA.

Oleh:
Muhamad Toha PAI/A
NIM: 1140101044

PASCA SARJANA PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
IAIN “SULTAN MAULANA HASANUDIN” BANTEN
SERANG 2012


[1]  Roestiyah, Strategi Belajar Mengajar, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2001, hal 24
[2] Pupuh Fathurohman, Strategi Belajar Mengajar Melalui Penanaman konsep Umum dan Konsep Islam, Jakarta: Reflika Aditama, 2011, hal 5
[3] Abudin Nata, Manajemen Pendidikan, Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media Group, 2008), cet ke.3, 173.
[4] Zakia Darajat, Bunga Rampai Pendidikan Agama Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1980, hal 15.
[5] KBBI
[6] Ibid
[7] UU SISDIKNAS, 2003
[8] Pernah di muat di Harian Pikiran Rakyat, 7 Juli 2007. Diunduh dari http:www.wikipedia. Mata Pelajaran PAI masuk UN?. pada tanggal 2 Desember 2012
[9] Tasman Hamami, MA : disampaikan dalam Saresehan USBN Pendidikan Agama yang diselenggarakan oleh Majelis Dikdasmen PWM DIY, Diunduh dari http.www.makalah PAI masuk dalam UN, tgl 4 Desember 2012.
[10] Ibid

23 December 2012

16 December 2012

Proses Suksesi Abu Bakar Siddik


A.   Proses Suksesi Abu Bakar Siddik
Abu Bakar dilahirkan di Mekkah pada tahun  572 M dan wafat pada tanggal 21 Jumadil Akhir 13 H /634 M, dalam usia 63 tahun.  Beliau wafat pada musim dingin, karena sakit yang dideritanya selama 15 hari.[1]
Beliau seorang laki-laki yang berkulit putih, kurus dan kedua pipinya tipis, serta tulang pipinya agak menonjol. Beliau tidak pernah mengikat kainnya dan dibiarkannya menggantung di pinggangnya. Wajahnya selalu berkeringat, kedua matanya agak cekung, kenignya lonjong, jari-jarinya selalu terbuka.[2]

Beliau menjadi Khalifah selama 2 tahun yakni dari tahun 632 M sampai tahun 634 M. Sedangkan arti khalifah adalah pengganti Rasulullah.[3] Beliau adalah satu-satunya Al-Khulafau Al-Rasyidun yang meninggal karena sakit.
Tatkala Rasulullah wafat, terjadi dua sesi musyawarah tentang khalifah pengganti Rasulullah, sesi pertama di tsaqifah bani Sa'idah yang dihadiri oleh para petinggi kaum Anshar dan Muhajirin, kemudian sesi kedua di mesjid Nabawi dengan disaksikan oleh seluruh kaum muslimin secara umum (bai'ah ammah/kubra).[4] Pada sesi pertama Saad bin Ubadah dari kaum Anshar ingin menjabat sebagai khalifah. Tapi hasil musyawarah memutuskan bahwa Abu Bakar-lah yang terpilih sebagai khalifah. Setelah peristiwa baiat tsaqifah tersebut, dari kaum Anshar tidak pernah lagi ada yang berniat untuk menjadi khalifah. [5]
Berikut ini adalah Pidato pertama Abu Bakar Siddiq dalam baiat ammah / kubra:
”Wahai manusia! Aku telah diangkat untuk memimpin kalian padahal aku bukan yang terbaik di antara kalian. Jika aku berbuat baik, maka bantulah dan ikutilah aku. Tapi jika aku berbuat salah maka luruskanlah! Kebenaran adalah suatu kepercayaan sedangkan dusta adalah suatu pengkhianatan. Orang yang lemah di antara kamu adalah kuat di mata saya, sesudah haknya saya berikan kepadanya-insya Allah, dan orang yang kuat buat saya adalah lemah, sesudah haknya nanti saya ambil—insya Allah. Apabila ada golongan yang meninggalkan perjuangan di jalan Allah, maka Allah akan menimpakan kehinaan kepada mereka. Apabila kejahatan itu sudah meluas pada suatu golongan, maka Allah akan menyebarkan bencana kepada mereka. Taatilah saya selama saya taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Tetapi apabila saya melanggar (perintah) Allah dan Rasulullah maka gugurlah kesetiaanmu kepada saya. Laksanakanlah salat kamu, Allah akan merahmati kamu sekalian." [6]


B.   Proses Suksesi Umar bin Khattab
Umar bin Khattab dilahirkan pada tahun 581 M dan wafat pada hari Rabu, 25 Dzulhijjah 23 H/644 M, dalam usia 64 tahun. Beliau menjadi khalifah selama sepuluh tahun dan menyebut dirinya sebagai amirul mu’minin yang berarti komandan orang-orang yang beriman yang mengandung makna bahwa kepemimpinan seluruh kegiatan  dihubungkan dengan keimanan.[7]
 Ciri-ciri fisik Umar bin Khatab adalah: Berkulit putih kemerah-merahan, pipi, hidung dan matanya bagus, telapak kaki dan telapak tangan besar, berbadan tegap, tinggi dan botak, sangat kuat dan keras, bila berjalan sangat cepat, bila bicara sangat jelas. [8]
Di penghujung usianya ia selalu berdoa kepada Allah agar mati syahid. Umar bin Khattab dibunuh oleh Abu Lukluk (Fairuz), seorang budak pada saat ia akan memimpin salat Subuh. Fairuz adalah salah seorang warga Persia yang masih kafir. Pembunuhan ini konon dilatarbelakangi dendam pribadi Abu Lukluk (Fairuz) terhadap Umar. Fairuz merasa sakit hati atas kekalahan Persia, yang saat itu merupakan negara digdaya. [9]
Sebelum Abu Bakar wafat, beliau menunjuk Umar bin Khattab sebagai penggantinya.
"Setujukah kalian dengan orang yang dicalonkan menjadi pemimpin kalian? Saya sudah berijtihad menurut pendapat saya dan tidak saya mengangkat seorang kerabat. Yang saya tunjuk menjadi pengganti adalah Umar bin Khattab. Patuhi dan taatilah dia!" Mereka menjawab: "Kami patuh dan taat." Ketika itu ia mengangkat tangan ke atas seraya berkata: "Ya Allah, yang kuinginkan untuk mereka hanyalah yang terbaik untuk mereka. Aku khawatir mereka dilanda kekacauan. Aku sudah bekerja untuk mereka dengan apa yang sudah lebih Kauketahui. Setelah aku berijtihad dengan suatu pendapat untuk mereka, maka untuk memimpin mereka kutempatkan orang yang terbaik di antara mereka, yang terkuat menghadapi mereka dan paling berhati-hati agar mereka menempuh jalan yang benar." Setelah orang banyak mendengar doanya itu apa yang dilakukannya mereka makin yakin. [10]

Peristiwa pada tsaqifah Bani Sa’idah, hampir menimbulkan konflik antara kaum Anshar dan kaum Muhajirin.[11] Agar peristiwa tersebut tidak terulang kembali, maka Abu Bakar Siddik mempersiapkan Umar bin Khattab sebagai khalifah pengganti beliau. [12]
Berkat kepemimpinan Abu Bakar Siddik, proses suksesi Umar Bin Khattab boleh dikatakan lebih berjalan lancar dibandingkan proses suksesi Abu Bakar Siddik sendiri, karena sebelum Rasulullah saw  wafat, beliau tidak menunjuk atau  mempersiapkan siapa khalifah pengganti Rasulullah saw.

C.   Daulah Islamiyah pada Masa Abu Bakar Siddiq
Sebagai khalifah pertama, Abu Bakar menghadapi tantangan yang sangat berat yaitu menghadapi para pembangkang zakat dan para murtaddin.
Ketika Rasulullah SAW wafat maka orang-orang arab kembali murtad, Yahudi dan Nasrani menampakkan taringnya, sementara kemunafikan mulai tersebar, kaum muslimin ibarat domba yang kucar-kacir diguyur hujan lebat pada malam yang pekat dan dingin, hingga Abu Bakar berhasil menyatukan mereka kembali. [13]

Mereka menganggap dengan wafatnya Rasulullah maka berhenti pula segala urusan yang berkenaan dengan Islam. Ada yang masih muslim tapi enggan membayar zakat tapi ada juga yang yang murtad.
Terhadap mereka Abu Bakar berkata: "Demi Allah, orang yang keberatan menunaikan zakat kepadaku, yang dulu mereka lakukan kepada Rasulullah Sallallahu 'alaihi wasallam, akan kuperangi." [14]
Seandainya pasukan Abu Bakar dikalahkan oleh pasukan kaum murtad tentulah akan bertambah lagi jumlah kaum muslimin yang murtad, dan Islam sebagai agama yang masih berumur relatif muda akan terus-menerus diintimidasi. Tapi sebaliknya pasukan Abu Bakar menang perang bahkan mendapatkan alasan untuk menyerang Irak dan Syam yang ketika itu merupakan imperium Bizantium Romawi dan Persia. Sehingga pada masa pemerintahan Abu Bakar, Negara Irak dan Syam berhasil diislamkan.
Akibat perang Riddah tersebut, para sahabat Rasulullah yang hafal Al-Quran banyak yang mati syahid, sehingga pada masa Abu Bakar  mushaf ayat-ayat Al-Quran untuk  pertama kali dikumpulkan. [15]
Pada masa itu ada dua negara adi kuasa yang memiliki banyak negara jajahan yaitu Persia dan Bizantium Romawi. Bizantium Romawi dipimpin oleh Kaisar Heraklius yang wilayah kekuasaannya meliputi Afrika Utara, Anatolia dan Eropa Timur. Pada tahun 631 M khalifah Abu Bakar Siddiq mengirim misi dagang dan dakwah ke Hira, tetapi rombongan dari Madinah itu dibantai habis oleh penguasa Byzantium. Atas desakan penduduk Madinah yang berasal dari Hira, pasukan kaum Muslimin menyerbu Hira dan mengusir tentara Byzantium dari tanah air mereka. Adapun Hira pada masa itu adalah ibu kota negara Irak.[16] Kemenangan kaum Muslimin ini disambut gembira di wilayah-wilayah Arab yang dikuasai Byzantium seperti Syam, Palestina, Libanon, Yerusalem dan Mesir. Para penganut madzab Nasaritah dan Yaakibah yang telah lama ditindas oleh penguasa Byzantium, meminta bantuan kaum Muslimin untuk membebaskan negeri mereka dari penjajahan Romawi dan Kristen Barat. Permintaan ini baru bisa dipenuhi oleh khalifah Umar bin Khattab (634-644 M), Karena Abu Bakar wafat ketika pasukannya  yang dipimpin oleh Khalid Bin Walid baru berperang selama 30 hari melawan pasukan Bizantium di Syam (634 M).
Hukum dapat menjamin kemakmuran umat. Hukum menciptakan keamanan, mengatur sistem pengumpulan dan pembagian rezeki. Dan hukum pula yang menjamin berjalannya seluruh undang-undang dan peraturan. Beliau tidak pernah menempatkan diri di atas Undang-Undang. Beliau tidak pernah memberikan sanak saudaranya kekuasaan yang lebih tinggi dari Undang-Undang. Beliau adalah hakim yang memutuskan perkara yang timbul dengan jalan musyawarah dengan para sahabat.
Organisasi dan mekanisme pemerintahan Abu Bakar begitu kuat dan merata. Hubungan antara pusat (Madinah) dan daerah sampai kepada instansi yang terendah di suku-suku kabilah sangat erat. Itu adalah hasil kemenangan Abu Bakar dalam perang Riddah. Sistem politik pada masa Abu Bakar masih bersifat sentral. Yaitu legislatif, eksekutif, dan yudikatif berada di tangan khalifah. Meskipun demikian beliau selalu mengutamakan musyawarah dalam mengambil suatu keputusan. 
Khalifah Abu Bakar adalah panglima tertinggi angkatan perang, Beliau mengangkat Khalid Bin Walid sebagai panglima Besarnya dan para sahabat Rasulullah sebagai kepala-kepala pasukan. Strategi dan taktik perang dikomando dari Madinah. Sedangkan Shalat Jama’ah dan Jum’at diimami langsung oleh Abu Bakar.

D.   Daulah Islamiyah pada masa Umar bin Khattab
Umar menjadi khalifah selama 10 tahun, Pada masa Umar bin Khattab, terjadi perluasan daerah dengan cepat, Rasullullah saw bersabda tentang Umar bin Khattab:
Aku bermimpi sedang mengulurkan timba ke dalam sebuah sumur yang ditarik dengan penggerek, maka datanglah Abu Bakar mengambil air dari sumur tersebut satu atau dua timba dan dia begitu lemah menarik timba tersebut-semoga Allah mengampuninya-, setelah itu datanglah Umar bin Khattab mengambil air sebanyak-banyaknya, aku tidak pernah melihat seorang pemimpin abqari yang begitu gesit sehingga seluruh manusia dapat minum sepuasnya dan memberikan minum unta-unta mereka. [17]

Hadits di atas menyinggung tentang keampuan Umar bin Khattab memperluas wilayah Islam. Bila pada masa Abu Bakar negara adikuasa seperti Bizantium Romawi dan Persia dapat dikalahkan, maka pada masa Umar bin Khattab Islam telah menjadi negara adikuasa yang memiliki wilayah yang sangat luas.   

Karena perluasan daerah terjadi dengan cepat, Umar segera mengatur administrasi negara dengan mencontoh administrasi yang sudah berkembang terutama di Persia. Administrasi pemerintahan diatur menjadi delapan wilayah propinsi: Mekkah, Madinah, Syiria, Jazirah, Basrah, Kufah, Palestina dan Mesir. Beberapa departemen yang dipandang perlu didirikan. Pada masanya mulai diatur dan ditertibkan sistem pembayaran gaji dan pajak tanah. Pengadilan didirikan dalam rangka memisahkan lembaga yudikatif dengan lembaga eksekutif. Untuk menjaga keamanan dan ketertiban, jawatan kepolisian dibentuk. Demikian pula jawatan pekerjaan umum. Umar juga mendirikan baitul mal menempa mata uang dan menciptakan tahun hijrah. [18]

Pada pemerintahan Umar bin Khattab, perluasan wilayah menyebabkan pertukaran ilmu pengetahuan, seperti ilmu administrasi negara yang diadopsi dari Persia.


[1] Ibnu Katsir terj. Abu Ihsan Al Atsari, 2004. Al- Bidayah Wan Nihayah Masa Khulafaur Rasyidin. Jakarta: Darul Haq, hlm.28
[2] Ahmad Abdul ‘Ala ath-Tahtawi terj. M.Mukhlisin, 2009. The Great Leader- Kisah Khulafaurrasidin,Jakarta: Gema Insani., hlm.46
[3] Badri Yatim, 2008. Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: RajaGrafindo Persada, hlm.35
[4]Marzuki Haji Mahmood., Prof., 1994. Kontroversi Dalam Sejarah Pemerintahan Khulafau Al- Rasyidun. Selangor-Malaysia: Universiti Kebangsaan, hlm.26-27
[5]ibid
[6] Ibnu Katsir.,Op.cit., hlm.71-72
[7]Laura Etheredge, 2010. Islamic History. New York-USA: Britannica Educational Publishing, hlm.56
[8]Sami bin Abdillah bin Ahmad al-Maghluts, 2005. Atlas Khalifah Umar bin Khatab. Riyadh: Maktabah Al-‘Abikan, hlm.17
[9] Ibnu Katsir.,Op.cit., hlm.181-182
[10] Muhammad Husain Haekal terj. Ali Audah, 2002. Umar bin Khattab, Jakarta: Litera AntarNusa, hlm.89
[11] Ibnu Katsir.,Op.cit., hlm.49
[12] Ibid., hlm.191
[13] Ibid., hlm.74
[14] Muhammad Husain Haekal,Op.Cit, hlm.87
[15] Ibid., hlm.25
[16] P.M. Holt, 2008. The Cambridge History of Islam ,Cambridge UK: Cambridge University Press, hlm.60
[17] Ibnu Katsir.,Op.cit., hlm.173
[18] Badri Yatim, Op.Cit., hlm.37-38

15 December 2012

MODEL-MODEL PENGEMBANGAN KURIKULUM PAI DALAM KBK DAN KTSP


MODEL-MODEL PENGEMBANGAN KURIKULUM PAI DALAM KBK DAN KTSP

A. Perbedaan Substansial antara KBK dan KTSP
KBK menggunakan pendekatan kompetensi dan kemampuan minimal yang harus dicapai oleh peserta didik, di samping rumusan kompetensi dirumuskan pula materi standar untuk mendukung pencapaian kompetensi dan indikator yang dapat digunakan sebagai tolok ukur untuk melihat ketercapaian hasil pembelajaran. Sedangkan KTSP merupakan upaya untuk menyempurnakan kurikulum agar familiar dengan guru, karena mereka banyak dilibatkan diharapkan memiliki tanggung jawab yang memadai.[1]  Pada intinya KTSP  dapat dikatakan sebagai kelanjutan dari kurikulum berbasis kompetensi (KBK), karena setidak-tidaknya mempunyai beberapa ciri atau karakter KBK ditemukan lagi dalam KTSP, bahkan mungkin dapat dikatakan sebagai penyempurnaan, karena ada ciri baru pada KTSP yang masih remang-remang dalam KBK antara lain:
Pertama, Komponen silabus bersifat menyeluruh artinya silabus itu mencakup keseluruhan ranah kompetensi yaitu ranah kognitif, ranah afektif dan ranah psikomotorik.
Kedua, Sistem penilaian masih meneruskan konsep KBK yaitu penilai berbasis kelas yang mengevaluasi hasil belajar siswa berdasarkan kompetensi dasar yang ditetapkan yang  yang meliputi ketiga ranah di atas.
Ketiga, KTSP tetap memperhatikan keragaman peserta didik, karena itu semua komponen silabus yang dikembangkan di sekolah  harus mengakomodasi keragaman siswa, pendidik serta dinamika perubahan yang selalu berproses  dan tuntutan masyarakat yang dinamis.
Model KBK adalah salah satu model kurikulum dari sekian model yang ada, sementara KTSP bukan model kurikulum melainkan hal yang lebih luas lagi. perbandingan seperti ini sama halnya dengan membandingkan batang pohon dengan pohon lengkap yang terdiri dari akar, batang, daun, bunga, dan buah; atau membandingkan kerangka manusia dengan manusia hidup yang utuh. Jadi, antara model KBK dan KTSP itu tidak bisa dibandingkan karena memang tidak sebanding.

TABEL 1
PERBEDAAN KBK DAN KTSP

NO
ASPEK
KBK (2004)
KTSP (2006)
1
Filosofis
Struktur keilmuan dan perkembangan psikologis siswa. Sehingga berdasar pada kompetensi lulusannya.
Struktur keilmuan dan perkembangan psikologis siswa dan Standar Kompetensi Lulusan.
2
Tujuan
Semua siswa memiliki kompetensi yang ditetapkan.
Semua  siswa berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik dan lingkungannya berdasarkan kompetensi yang ditetapkan.
3
Sifat
Cenderung Sentralisme Pendidikan: Kurikulum disusun oleh Tim Pusat secara rinci; Daerah/Sekolah hanya melaksanakan
Kurikulum disusun rinci oleh Tim Pusat (Ditjen Dikmenum/ Dikmenjur dan Puskur)
Cenderung Desentralisme Pendidikan: Kerangka Dasar Kurikulum disusun oleh Tim Pusat; Daerah dan Sekolah dapat mengembangkan lebih lanjut.
Kurikulum merupakan kerangka dasar oleh Tim BSNP
4
Subtansi materi
Pemerintan menetapkan kompetensi yang berlaku secara nasional dan daerah/sekolah berhak menetapkan standar yang lebih tinggi sesuai kemampuan daerah/sekolah
Pemerintah menetapkan kompetensi yang berlaku secara nasional dan semua sekolah /satuan pendidikan wajib membuat KTSP. Dimana silabus merupakan bagian tidak terpisahkan dari KTSP dan guru harus membuat Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP).
5
Cara Pembelajaran

Siswa aktif mengembangkan berbagai metode pembelajaran
Guru sebagai fasilitator

Siswa aktif mengembangkan berbagai metode dan model pembelajaran
Menggunakan pendekatan multistrategi dan multimedia, sumber belajar dan teknologi yang memadai, dan memanfaatkan lingkungan sekitar sebagai sumber belajar.
6
Landasan Hukum
·     Tap MPR/GBHN Tahun 1999-2004
·     UU No. 20/1999 – Pemerintahan Daerah
·     UU Sisdiknas No 2/1989 kemudian diganti dengan UU No. 20/2003
·     PP No. 25 Tahun 2000 tentang pembagian kewenangan.
·     UU No. 20/2003 – Sisdiknas
·     PP No. 19/2005 – SPN
·     Permendiknas No. 22/2006 – Standar Isi
·     Permendiknas No. 23/2006 – Standar Kompetensi Lulusan
7
Implementasi /
Pelaksanaan
Kurikulum
·     Bukan dengan Keputusan/ Peraturan Mendiknas RI
·     Keputusan Dirjen Dikdasmen No.399a/C.C2/Kep/DS/2004 Tahun 2004.
·     Keputusan Direktur Dikmenum No. 766a/C4/MN/2003 Tahun 2003, dan No. 1247a/ C4/MN/2003 Tahun 2003.
Peraturan Mendiknas RI No. 24/2006 tentang Pelaksanaan Peraturan Menteri No. 22 tentang SI dan No. 23 tentang SKL
8
Pendekatan
·     Berbasis Kompetensi
·     Terdiri atas : SK, KD, MP dan Indikator Pencapaian
·     Berbasis Kompetensi
·     Hanya terdiri atas : SK dan KD. Komponen lain dikembangkan oleh guru
9
Struktur
·     Berubahan relatif banyak dibandingkan kurikulum sebelumnya (1994 suplemen 1999)
·     Ada perubahan nama mata pelajaran
·     Ada penambahan mata pelajaran (TIK) atau penggabungan mata pelajaran (KN dan PS di SD)

·     Penambahan mata pelajaran untuk Mulok dan Pengembangan diri untuk semua jenjang sekolah
·     Ada pengurangan mata pelajaran (Misal TIK di SD)
·     Ada perubahan nama mata pelajaran
·     KN dan IPS di SD dipisah lagi
·     Ada perubahan jumlah jam pelajaran setiap mata pelajaran
10
Beban Belajar
·     Jumlah Jam/minggu :
·     SD/MI = 26-32/minggu
·     SMP/MTs = 32/minggu
·     SMA/SMK = 38-39/minggu
·     Lama belajar per 1 JP:
·     SD = 35 menit
·     SMP = 40 menit
·     SMA/MA = 45 menit
·     Jumlah Jam/minggu :
·     SD/MI 1-3 = 27/minggu
·     SD/MI 4-6 = 32/minggu
·     SMP/MTs = 32/minggu
·     SMA/MA= 38-39/minggu
·     Lama belajar per 1 JP:
·     SD/MI = 35 menit
·     SMP/MTs = 40 menit
·     SMA/MA = 45 menit
11
Pengembangan
Kurikulum lebih lanjut

·     Hanya sekolah yang mampu dan memenuhi syarat dapat mengembangkan Kurikulum
·     Guru membuat silabus atas dasar Kurikulum Nasional dan RP/Skenario Pembelajaran
·     Semua sekolah /satuan pendidikan wajib membuat KTSP.
·     Silabus merupakan bagian tidak terpisahkan dari KTSP
·     Guru harus membuat Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)
12
Prinsip
Pengembangan
Kurikulum

1.      Keimanan, Budi Pekerti Luhur, dan Nilai-nilai Budaya
2.      Penguatan Integritas Nasional
3.      Keseimbangan Etika, Logika, Estetika, dan Kinestetika
4.      Kesamaan Memperoleh Kesempatan
5.      Perkembangan Pengetahuan dan Teknologi Informasi
6.      Pengembangan Kecakapan Hidup
7.      Belajar Sepanjang Hayat
8.      Berpusat pada Anak
9.      Pendekatan Menyeluruh dan Kemitraan
1.  Berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik dan lingkungannya
2.  Beragam dan terpadu
3.  Tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni
4.  Relevan dengan kebutuhan kehidupan
5.  Menyeluruh dan berkesinam-bungan
6.  Belajar sepanjang hayat
7.  Seimbang antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah
13
Prinsip
Pelaksanaan
Kurikulum

Tidak terdapat prinsip pelaksanaan kurikulum
1.      Didasarkan pada potensi, perkembangan dan kondisi peserta didik untuk menguasai kompetensi yang berguna bagi dirinya.
2.      Menegakkan lima pilar belajar:
1)      belajar untuk beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME,
2)      belajar untuk memahami dan menghayati,
3)      belajar untuk mampu melaksanakan dan berbuat secara efektif,
4)      belajar untuk hidup bersama dan berguna bagi orang lain,
5)      belajar untuk membangun dan menemukan jati diri, melalui proses pembelajaran yang efektif, aktif, kreatif & menyenangkan.
3. Memungkinkan peserta didik mendapat pelayanan perbaikan, pengayaan, dan/atau percepatan sesuai dengan potensi, tahap perkembangan, dan kondisinya dengan memperhatikan keterpaduan pengembangan pribadi peserta didik yang berdimensi ke-Tuhanan, keindividuan, kesosialan, dan moral.
4.  Dilaksanakan dalam suasana hubungan peserta didik dan pendidik yang saling meneri-ma dan menghargai, akrab, terbuka, dan hangat, dengan prinsip tut wuri handayani, ing madia mangun karsa, ing ngarsa sung tulada
5. Menggunakan pendekatan multistrategi dan multimedia, sumber belajar dan teknologi yang memadai, dan memanfaatkan lingkungan sekitar sebagai sumber belajar.
6. Mendayagunakan kondisi alam, sosial dan budaya serta kekayaan daerah untuk keberhasilan pendidikan dengan muatan seluruh bahan kajian secara optimal.
7. Diselenggarakan dalam keseimbangan, keterkaitan, dan kesinambungan yang cocok dan memadai antar kelas dan jenis serta jenjang pendidikan
14
Pedoman
Pelaksanaan
Kurikulum

1.       Bahasa Pengantar
2.       Intrakurikuler
3.       Ekstrakurikuler
4.       Remedial, pengayaan, akselerasi
5.       Bimbingan & Konseling
6.       Nilai-nilai Pancasila
7.       Budi Pekerti
8.       Tenaga Kependidikan
9.       Sumber dan Sarana Belajar
10.   Tahap Pelaksanaan
11.   Pengembangan Silabus
12.   Pengelolaan Kurikulum
Tidak terdapat pedoman pelaksanaan kurikulum seperti pada Kurikulum 2004.


B. Kurikulum PAI  dalam KBK
Sebagai pengganti kurikulum 1994 adalah kurikulum 2004, yang disebut dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Suatu program pendidikan berbasis kompetensi harus mengandung tiga unsur pokok, yaitu: pemilihan kompetensi yang sesuai; spesifikasi indikator-indikator evaluasi untuk menentukan keberhasilan pencapaian kompetensi dan pengembangan pembelajaran. Tujuan utama KBK adalah memandirikan atau memberdayakan sekolah dalam mengembangkan kompetensi yang akan disampaikan kepada peserta didik sesuai dengan kondisi lingkungan.[2]
KBK dapat diartikan sebagai suatu konsep kurikulum yang menekankan pada pengembangan kemampuan melakukan (kompetensi) tugas-tugas dengan standard performance tertentu, sehingga hasilnya dapat dirasakan oleh peserta didik berupa penguasaan terhadap seperangkat kompetensi tertentu. KBK diarahkan untuk mengembangkan pengetahuan, pemahaman, kemampuan, nilai sikap dan minat peserta didik agar dapat melakukan sesuatu dalam bentuk kemahiran dan keberhasilan agar penuh tanggung jawab. Depdiknas (2002) dalam E. Mulyasa mengemukakan bahwa Kurikulum Berbasis Kompetensi memiliki karakteristik sebagai berikut:
  1. Menekankan pada ketercapaian kompetensi siswa, baik secara individual maupun klasikal.
  2. Berorientasi pada hasil belajar dan keberagaman.
  3. Penyampaian dalam pembelajaran menggunakan pendekatan dan metode yang bervariasi.
  4. Sumber belajar bukan hanya guru, tetapi juga sumber belajar lainnya yang memenuhi unsur edukatif.
  5. Penilaian menekankan pada proses dan hasil belajar dalan upaya penguasaan atau pencapaian suatu kompetensi.[3]
Ketika kita berbicara Kurikulum Berbasis Kompetensi maka pembahasan utama yang harus kita lakukan adalah tentang Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar yang harus ditempuh oleh seorang peserta didik. Dalam KBK tahun 2004 untuk mata pelajaran PAI (kita ambil contoh di jenjang SMP), Standar Kompetensi yang disajikan sangat sederhana tapi cukup mendalam dan mencerminkan standar kompetensi pendidikan Islam yang menyeluruh, untuk lebih jelasnya perhatikan tabel berikut :

TABEL 2
STANDAR KOMPETENSI

No
Standar Kompetensi
1
Mengamalkan ajaran al-Qur’an /Hadits dalam kehidupan sehari-hari
2
Menerapkan aqidah Islam dalam kehidupan sehari-hari
3
Menerapkan akhlakul karimah (akhlaq mulia) dan menghindari akhlaq tercela dalam kehidupan sehari
4
Menerapkan syariah (hukum Islam) dalam kehidupan sehari-hari)
5
Mengambil Manfaat dari Sejarah Perkembangan (peradaban) Islam dalam kehidupan sehari-hari.

Kelima Standar Kompetensi di atas berlaku untuk semua tingkat dari kelas VII s.d Kelas IX dan masing-masing dari kelima standar kompetensi tersebut diuraikan lagi  menjadi beberapa Kompetensi Dasar yang memiliki cakupan materi yang cukup dalam dan luas.  Sebagai contoh untuk Standar Kompetensi yang pertama di kelas VII diurai ke dalam lima kompetensi Dasar yaitu :
1.1. Siswa mampu membaca, mengartikan dan menyalin surat adh-Dhuha
1.2. Siswa mampu membaca, mengartikan dan menyalin surat al-Adiyat
1.3. Siswa mampu menerapkan hukum bacaan Alif lam syamsiyah dan Alif lam qamariyah
1.4. Siswa mampu mempraktikan hukum bacaan Nun mati dan Tanwin dan Mim mati
1.5. Siswa mampu membaca, mengartikan, dan menyalin hadits tentang Rukun Islam.

C. Kurikulum PAI dalam KTSP
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) merupakan pengembangan yang sesuai dengan satuan pendidikan, potensi sekolah, daerah, karakteristik sekolah atau sekolah maupun sosisal budaya masyarakat setempat dan karakteristik peserta didik.
Menurut Khaeruddin Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) adalah kurikulum yang disusun dan dilaksanakan di masing-masing satuan pendidikan.[4] Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) adalah kurikulum operasional yang disusun dan dilaksanakan di masing-masing satuan pendidikan dengan memerhatikan dan berdasarkan Standar Kompetensi  serta Kompetensi Dasar  yang dikembangkan  oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP).[5]
Ditegaskan lagi Menurut Tim Pustaka Yustisia, KTSP adalah  kurikulum operasional yang disusun oleh dan dilaksanakan di masing-masing  satuan pendidikan.[6]
Secara khusus tujuan diterapkannya KTSP adalah :
  1. Meningkatkan mutu pendidikan melalui kemandirian dan inisiatif sekolah dalam mengembangkan kurikulum, pengelolaan dan meberdayakan sumber daya yang tersedia.
  2. Meningkatkan kepedulian warga sekolah dan masyarakat dalam pengembangan kurikulum melalui pengambilan keputusan bersama.
  3. Meningkatkan kompetensi yang sehat satuan pendidikan, tentang kualitas pendidikan yang akan dicapai.[7]
Adapun karkateristik dan implementasi KTSP  adalah :
  • KTSP merupakan kurikulum operasional yang pengembangannya diserahkan kepada daerah dan satuan pendidikan.
  • Karakteristik KTSP bisa diketahui antara lain dari bagaimana sekolah dan satuan pendidikan dapat mengoptimalkan kinerja, proses pembelajaran, pengelolaan sumber belajar profesionalisme tenaga kependidikan serta sistem penilaian.
Berdasarkan dari uraian di atas, dapat dikemukakan beberapa karakteristik sebagai berikut:
  • Pemberian otonomi yang luas kepada sekolah sebagai satuan pendidikan.
  • Partisipasi masyarakat dan orang tua yang tertinggi.
  • Kepemimpinan yang demokratis dan profesional.
  • Dan tim-kerja yang kompak dan transparan.[8]
Pada kurikulum 2006, pemerintah pusat menetapkan Standar Kompetensi dan Komptensi Dasar, yang mana sekolah, dalam hal ini guru, dituntut untuk mampu mengembangkan dalam bentuk silabus dan penilaiannya sesuai dengan kondisi sekolah dan daerahnya. Hasil pengembangan dari semua mata pelajaran dihimpun menjadi sebuah perangkat yang dinamakan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP). Penyusunan KTSP menjadi tanggung jawab sekolah di bawah binaan dan pemantauan Dinas Pendidikan Daerah dan Wilayah setempat.
Pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu dan relevansi serta efisiensi manajemen pendidikan. Pemerataan kesempatan pendidikan diwujudkan dalam program belajar 9 tahun. Peningkatan mutu pendidikan diarahkan untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia seutuhnya melalui olah hati, olah pikir, olah rasa dan olahraga, agar memiliki daya saing dalam menghadapi tantangan global. Releavansi pendidikan dimasksudkan untuk menghasilakn kelulusan yang sesuai dengan tuntutan kebutuhan yang berbasis potensi sumber daya alam Indonesia. Peningkatan efisiensi manajemen pendidikan dilakukan melalui penerapan manajemen berbasis sekolah dan pembaharuan pengelolaan pendidikan secara terencana, terarah dan berkesinambungan.
Implementasi undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional dijabarkan kedalam sejumlah peraturan, antara lain peraturan pemerintah nomor 19 tahun 2005 tentang standar pendidikan nasional. Peraturan pemerintah ini memberikan arahan tentang perlunya disusun dan dilaksanakannya delapan standar nasional pendidikan, yakni: 1. standar isi, 2. standar proses, 3. standar kompetensi lulusan, 4. standar pendidik dan tenaga kependidikan, 5. standar sarana prasarana, 6. standar pengelolaan, 7. standar pembiayaan, 8. dan standar penilaian pendidikan.
Kurikulum dipahami sebagai seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu, maka dengan terbitnya peraturan pemerintah nomor 19 tahun 2005, pemerintah telah menggiring pelaku pendidikan untuk mengimplementasikan kurikulum dalam bentuk kurikulum tingkat satuan pendidikan, yakni kurikulum operasional yang disusun oleh dan dilaksanakan di setiap satuan pendidikan.
Secara substansional, pemberlakuan atau penamaan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) lebih kepada pengimplementasikan regulasi yang ada, yaitu PP Nomor 19/2005. Akan tetapi esensi isi dan arah pengembangan pembelajaran tetap masih bercirikan tercapainya paket-paket kompetensi dan bukan pada tuntas tidaknya sebuah subjek materi, yaitu :
  • Menekankan pada keterampilan kompetensi siswa baik secara individual maupun klasikal.
  • Berorientasi pada hasil belajar (learning outcomes) dan keberagaman.
  • Penyampaian dalam pembelajaran menggunakan pendekatan dan metode yang bervariasi.
  • Sumber belajar bukan hanya guru, tetapi juga sumber lainnya yang memenuhi unsur edukatif.
  • Penilaian menekankan pada proses dan hasil belajar dalam upaya penguasaan atau pencapaian suatu kompetensi.
Terdapat perbedaan mendasar dibandingkan dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) sebelumnya (versi 2002 dan 2004), bahwa sekolah diberi kewenangan penuh menyusun rencana pendidikannya dengan mengacu pada standar kalender pendidikan, hingga pada pengembangan silabusnya. Sementara dalam KBK tahun 2006 (KTSP), standar kompetensi yang disajikan untuk mata pelajaran pendidikan agama Islam sangat banyak tapi bobotnya amat dangkal, untuk kelas VII terdapat 14 SK, untuk kelas VIII terdapat 15 SK, dan untuk kelas IX terdapat 13 SK.
Ada satu pertanyaan yang mungkin mengganjal di hati kita mengapa Standar Kompetensi dalam KBK 2006 ini dangkal, jawabannya adalah karena Standar Kompetensi yang disajikan dalam KBK 2006 adalah kompetensi dasar dalam KBK 2004. Sebagai contoh pada tabel berikut ini :


TABEL 3
STANDAR KOMPETENSI DAN KOMPETENSI DASAR
KELAS VII, SEMESTER I

Standar Kompetensi
Kompetensi Dasar
Al-Qur’an
1.  Menerapkan Hukum bacaan ”al” Syamsiyah dan ”al”Qomariyah
1.1  Menjelaskan hukum bacaan bacaan ”al” Syamsiyah dan ”al”Qomariyah
1.2  Membedakan  hukum bacaan bacaan ”al” Syamsiyah dan ”al”Qomariyah
1.3  Menerapkan bacaan bacaan ”al” Syamsiyah dan ”al”Qomariyah  dalam bacaan surat-surat al-Qur’an dengan benar
Aqidah
2.  Meningkatkan keimanan kepada Allah swt melalui pemahaman sifat-sifat-Nya

2.1   Membaca ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan sifat-sifat Allah
2.2   Menyebutkan arti ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan sifat-sifat Allah swt
2.3   Menunjukkan tanda-tanda adanya Allah swt
2.4   Menampilkan perilaku sebagai cermin keyakinan akan sifat-sifat Allah swt
3. Memahami Asmaul Husna
3.1   Menyebutkan arti ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan 10 Asmaul Husna
3.2   Mengamalkan isi kandungan 10 Asmaul Husna
Akhlak
4. Membiasakan perilaku terpuji

4.1   Menjelaskan pengertian tawadhu, ta’at, qana’ah dan sabar
4.2   Menampilkan contoh-contoh perilaku  tawadhu, ta’at, qana’ah dan sabar
4.3   Membiasakan perilaku tawadhu, ta’at, qana’ah dan sabar
Fiqih
5. Memahami ketentuan – ketentuan thaharah (bersuci)
5.1   Menjelaskan ketentuan –ketentuan mandi wajib
5.2   Menjelaskan perbedaan hadas dan najis
6. Memahami tatacara shalat
6.1   Menjelaskan ketentuan –ketentuan shalat wajib
6.2   Memperaktikkan shalat wajib
7. Memahami tatacara shalat jamaah dan munfarid (sendiri)
7.1   Menjelaskan pengertian shalat jama’ah dan munfarid
7.2   Memperaktikkan shalat jama’ah dan shalat munfarid
Tarikh dan kebudayaan Islam
8. Memahami sejarah Nabi Muhammad saw
8.1   Menjelaskan sejarah nabi Muhammad saw
8.2   Menjelaskan misi nabi Muhammad  untuk semua manusia dan bangsa.




[1]E. Mulyasa, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2007), hal. 9.
[2]E.Mulyasa, Kurikulum Berbasis Kompetensi,  konsep karakteristik dan implementasi, (Bandung: Remaja Rosda karya, 2005), hal. 10
[3] ibid, hal. 42
[4]Khaeruddin, et.al., Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) konsep dan implementasinya di Madrasah, (Jogjakarta: Pilar Media, 2007), hal. 79
[5]Wina Sanjaya, Kurikulum dan Pembelajaran (teori dan praktek kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan “KTSP”). (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), hal. 128.
[6]Tim Pustaka Yustisia, Panduan Lengkap KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan). Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2008), hal. 146.
[7]E. Mulyasa,2007, op.cit, hal. 22.
[8]ibid., hal. 29.