A.
Pengertian
Periwayatan Hadits
Periwayatan
hadits adalah kegiatan penerimaan dan penyampaian hadis, serta penyandaran
hadis itu kepada rangkaian para periwayatnya dengan bentuk-bentuk tertentu.
Orang yang telah menerima hadis dari seorang periwayat, tetapi dia tidak
menyampaiakan hadis itu kepada orang lain, maka dia tidak dapat disebut sebagai
orang yang telah melakukan periwayatan hadis. Sekiranya orang tersebut
menyampaikan hadis yang diterimanya kepada orang lain, tetapi ketika menyampaikan
hadis itu tidak menyebutkan rangkaian para periwayatnya, maka orang tersebut
juga tidak dapat dinyatakan sebagai orang yang telah melakukan periwayatan
hadis.
Dari
definisi di atas, dapat ditarik beberapa point penting yang harus ada dalam
periwayatan hadis Nabi, yaitu; (1) orang yang melakukan periwayatan hadis yang kemudian
dikenal dengan rawi (periwayat), (2) apa yang diriwayatkan (marwi),
(3) susunan rangkaian pera periwayat (sanad/isnad), (4) kalimat yang
disebutkan sesudah sanad yang kemudian dikenal dengan matan, dan
(5) kegiatan yang berkenaan dengan proses penerimaan dan penyampaian hadits.
Dalam sistem
periwayatan hadis, sahabat dianggap sebagai mata rantai pertama dan paling
kritis dalam mata rantai yang menghubungkan hadits dengan Nabi saw.
Masalah yang tidak kurang penting dari keandalan sahabat adalah cara literatur
hadits dan disampaikan sesudah mereka. Isu utamanya sederhana, yaitu apakah
proses penyampaian hadits cukup dapat dipercaya, paling tidak untuk menjamin
tidak adanya penyimpangan dalam inti hadits asli tentang Nabi saw?
Apakah penyampaian hadits sepenuhnya secara lisan atau tertulis? Apakah
penyampaian secara lisan, terutama penyampaian makna (bil ma’na) dan
bukan penyampaian kata demi kata (bil lafzh), dapat dianggap andal untuk
melestarikan sunnah?
Pada era Nabi saw,
kaitannya dengan penulisan hadits, Nabi menyampaikan sejumlah larangan
sekaligus perintah. Kongritnya, dalam hadits yang melarang sahabat menulis
sesuatu selain al Qur’an, ternyata setelah dilakukan penyelidikan lebih lanjut,
terdapat illat khusus bagi pelarangannya yaitu karena adanya naskah yang
ditulis dalam selembar kertas yang didalamnya bercampur antara al Qur’an dengan
naskah lain. Namun, dalam pernyataan Nabi saw di hadits yang lain, Nabi saw
justru menyuruh untuk menuliskan
hadits. Contohnya adalah hadits yang menyuruh sahabat menulis hadits
kepada Abu Syah. Dengan demikian, ketika ada sesuatu yang awalnya dilarang,
namun kemudian justru ada perintah yang menunjukkan kebalikannya, maka itu
menunjukkan kebolehan melakukan hal itu, yakni penulisan dan pelestarian sumber
keagamaan tersebut (hadits).
Berangkat dari
sini dapat dipahami, diakui atau pun tidak, bahwa apa yang diucapkan,
dilakukan, serta ditetapkan oleh Nabi banyak sekali yang tidak ditulis oleh para
sahabat.
Meskipun
demikian, juga tidak menafikan bahwa penulisan hadits telah ada sejak zaman
Nabi saw. Paling tidak ini dapat dibuktikan oleh Musthafa al Siba’i
dengan memberikan beberapa bukti, antara lain:
1. Rasulullah menulis surat kepada raja-raja
zamannya dan amir-amir jazirah Arabia untuk menyeru mereka kepada Islam,
2. Sebagian sahabat memiliki shuhuf,
“lembaran-lembaran bertulis” yang didalamnya berisi catatan tentang apa yang
mereka dengar dari Rasulullah, seperti lembaran ‘Abdullah ibn ‘Amr ibn ‘Ash
yang dinamainya al Shadiqah.
3. Rasulullah menulis surat kepada sebagian
petugas Beliau yang berisi ketentuan-ketentuan zakat unta dan domba.
Melihat
keterangan diatas berarti anggapan yang berkembang selama ini bahwa Ibn Syihab
al Zuhri adalah orang pertama yang menulis hadits telah terbantahkan. Mungkin
lebih tepatnya, Ibn Syihab al Zuhri hanyalah orang pertama yang disponsori
secara resmi oleh pemerintah, khalifah Umar ibn Abd al Aziz, untuk mengumpulkan
hadits. Dengan kata lain, pengumpulan hadits tertulis oleh pribadi telah umum
dilakukan, tetapi tidak seperti al Qur’an, sampai kemudian pada masa Ibn Syihab
al Zuhri, hadits menjadi fokus upaya resmi regulasi atau sistematisasi.
B.
Proses
Periwayatan Hadits
Sistem
meriwayatkan hadits adalah dengan lafaz yang masih asli dari Rasulullah saw.
atau dengan maknanya saja, sedangkan redaksinya disusun sendiri oleh orang yang
meriwayatkannya. Hal itu disebabkan karena mereka sudah tidak ingat betul
kepada lafaz aslinya, di samping mereka hanya mementingkan dari segi isinya
yang benar-benar dibutuhkan pada saat itu.
Sistem
meriwayatkan hadis dengan maknanya saja tidak dilarang oleh Rasulullah saw.
berlainan dengan meriwayatkan al-Quran, susunan bahasa dan maknanya sedikit pun
tidak boleh diubah, baik dengan mengganti lafaz yang sinonim yang tidak
mempengaruhi isinya, teristimewa kalau sampai membawa perbedaan makna. Hal itu
disebabkan karena lafaz dan susunan kalimat al-Quran itu merupakan mukjizat
Allah Taala. Tetapi, di dalam meriwayatkan hadis, yang dipentingkan ialah
isinya. Adapun lafaz dan susunan bahasanya dibolehkan menggunakan lafaz dan
susunan kalimat lain, asalkan kandungan dan maknanya tidak berubah.
Sebagaimana
tersebut di atas, bahwa oleh karena adanya kesibukan para sahabat untuk
menuliskan dan menyiarkan al-Quran, sudah barang tentu perkembangan hadits
terlambat. Demikian juga pada masa kedua khalifah: Abu Bakar dan Umar,
perkembangan hadits tidak begitu pesat. Hal itu disebabkan anjuran beliau
kepada para sahabat agar mengutamakan penyiaran al-Quran ini, Umar bin
Khaththab r.a. mengadakan larangan memperbanyak riwayat (hadits).
Kebijaksanaan
kedua khalifah tersebut dapat dimaklumi mengingat bahwa masyarakat pada waktu
itu belum seluruhnya mengenal al-Quran sebagai dasar syariat yang pertama. Terutama
bagi masyarakat yang baru saja menerima dakwah Islam, al-Quran masih asing
baginya. Kebijaksanaan itu bukan berarti menghambat hadits untuk berkembang,
melainkan hanya belum menaruh perhatian secara sempurna.
Saat Utsman bin
Affan r.a. memangku jabatan khalifah adalah merupakan saat yang penting bagi
perkembangan hadits. Para sahabat kecil dan tabi'in mulai menaruh perhatian
serius dalam mencari dan mengumpulkan hadis dari para sahabat besar, yang
jumlahnya kian hari kian berkurang, dan tempat tinggalnya sudah mulai
bertebaran di pelbagai pelosok. Tidak sedikit para sahabat kecil dan tabi'in
menghabiskan waktu, tenaga, dan harta, melawat ke Timur dan Barat mengunjungi
tempat-tempat kediaman para sahabat besar, karena mereka adalah yang
orang-orang yang mendapatkan hadis dari sumber aslinya. Satu contoh sahabat
Ayub al-Anshari pergi ke Mesir menemui sahabat Uqbah bin Amir untuk menanyakan
sebuah hadis yang berbunyi (artinya), "Barang siapa yang menutupi
kesulitan seorang muslim di dunia, Allah akan menutupi kesulitannya pada hari
kiamat." (Baca uraian yang luas tentang sejarah penulisan dan pendewanan
hadis dalam kitab Ash-Sunnah Qabla't Tadwin, karya Muhammad Ajjaj
al-Khathib, dan uraian yang ringkas dalam kitab Qishshatu'l Muhammadi, karya
Muhammad Abu Rayyah, hlm. 94--97).
Pada saat kompetisi mencari dan mengumpulkan
hadits inilah, hadits mulai menjadi tumpuan (objek) perhatian para sahabat dan
tabi'in, dan sekaligus mulai berkembang dari dalam menuju ke luar.
Sejak
berakhirnya pemerintahan Khalifah Utsman r.a. (40 H) dan pada awal berdirinya
Khalifah Ali bin Abi Thalib r.a. mulai timbul hadis-hadis palsu, yakni ucapan
atau buah pikiran seseorang yang didakwakannya kepada Nabi saw. Tetapi, berkat
ketekunan dan penyelidikan para ahli hadis yang saksama terhadap tingkah laku
para rawi dan keadaan marwinya, serta berkat usaha mereka mengadakan
syarat-syarat dalam menerima atau menolak suatu hadis, dapatlah diketahui
ciri-ciri kepalsuan suatu hadits.
Secara umum,
terdapat 8 macam sistem dan cara penerimaan dan penyampaian hadits, yaitu:
1. “Sama’ min
lafdz al Syaikh”,
yakni mendengar sendiri dari perkataan gurunya, baik secara dikte atau bukan,
baik dari hafalannya maupun dari tulisannya. Cara sama’ ini sangat
tinggi nilainya, sebab lebih meyakinkan tentang terjadinya pengungkapan
riwayah. Adapun lafadz-lafadz yang digunakan oleh rawi dengan cara sama’
ini adalah seperti akhbarany, haddatsany atau sami’tu.
2. “al Qira’ah
‘ala al Syaikh” (‘aradh), yakni
murid membaca hadits dihadapan gurunya, baik dia sendiri yang menyampaikan atau
yang mendengar yang meriwayatkan. Lafadh-lafadhnya seperti qara’tu ‘alaih,
quri’a ‘ala fulan wa ana asma’u dan hadatsana qira’atan ‘alaih.
3. “Ijazah”, yakni pemberian izin dari seseorang
kepada orang lain untuk meriwayatkan hadits darinya atau dari kitab-kitabnya.
Lafadhnya ajaztu laka........
4. “Munawalah”, yaitu seorang guru memberikan sebuah
naskah asli kepada muridnya atau salinan yang sudah dikoreksinya untuk
diriwayatkan.
5. “Muktabah”, yaitu seorang guru yang menulis
sendiri atau menyuruh orang lain untuk menulis beberapa hadits kepada orang
lain ditempat lain atau yang ada dihadapannya.
6. “Wijadah”, yaitu memperoleh tulisan hadits
orang lain yang tidak diriwayatkan dengan sama’,qira’ah, maupun
selainnya, dari pemilik tulisan tersebut. Lafadhnya seperti qara’tu bi
khaththi fulan, atau wajadtu bi khaththi fulan.
7. “Washilah”, yaitu pesan seseorang di kala akan
meninggal atau bepergian dengan sebuah kitab atau tulisan supaya diriwayatkan.
8. “I’lam”, pemberitahuan guru kepada muridnya
bahwa hadits yang diriwayatkannya adalah riwayatnya sendiri yang diterima dari
seorang guru dengan tidak mengatakan (menyuruh) agar si murid meriwayatkannya.
Dari berbagai
macam cara atau sistem periwayatan tersebut terlihat bahwa proses periwayatan
hadits ditekankan pada superioritas penyampaian hadits secara langsung,
pribadi, dan lisan, sedangkan tulisan hanyalah untuk membantu mengingat.
Menurut argumen umum, penyampaian hadits secara lisan tidak hanya dapat
dipercaya tetapi juga lebih baik daripada dokumen-dokumen yang tersebar. Lebih
jauh lagi, keandalan penyampaian hadits secara lisan ini juga dijamin
dengan daya ingat orang-orang Arab yang luar biasa. Hal ini berbeda dengan
catatan tertulis yang memiliki sedikit nilai karena tanpa dibuktikan
kebenarannya oleh saksi yang hidup.
Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa pada masa-masa awal, terlepas dari banyak sedikitnya,
telah terjadi 2 cara penyampaian hadits yang disandarkan kepada Nabi, yaitu
secara lisan dan juga melalui media tulisan.
Namun demikian,
kenyataan yang terjadi penyampaian dengan lisan tampaknya lebih populer. Contoh
kongrit adalah apa yang disampaikan oleh Umar bin Khaththab dan al Bara’ bin
‘Azib yang berkata, “Tidak semua hadits kami mendengarnya dari Rasulullah SAW
secara langsung. Ketika para shahabat menyampaikannya kepada kami, pada
waktu itu kami sibuk dengan menggembala onta. Dalam hal ini, langkah yang kami
ambil adalah meminta kepada para shahabat yang pernah mendengarnya untuk
mengulang kembali, terutama dari mereka yang kuat hafalannya.
C.
Macam-macam
Hadits Akibat Proses Periwayatan Hadits
Hadits
Pada masa Abu Bakar, jumlah umat muslim masih relatif
sedikit, sehingga eksekutif, legislatif dan yudikatif berada di tangan beliau.
Sedangkan pada masa Umar bin Khattab jumlah umat Muslim semakin banyak sehingga
perlu dibentuk lembaga-lembaga negara seperti lembaga kehakiman (Al-Qadhi),[1]
Gubernur (Al-Wali), Lembaga Keuangan dan lain-lain.
Sebagai ahli fiqih, Umar bin Khattab dikenal berani
melakukan ijtihad. Ijtihadnya meliputi berbagai bidang. Dalam bidang
peribadatan, Umar bin Khattab berpendapat dalam hal empat takbir untuk shalat
Jenazah, penyelenggaraan shalat Tarawih berjamaah, dan penambahan kata “as-salaatu
khairum minan naum” dalam azan subuh. Beberapa jasa Umar bin Khattab yang
lain dalam bidang hukum adalah :
1.
Penetapan aturan pembagian harta warisan
2.
Perumusan prinsip kias
3.
Pengangkatan para hakim
4.
Pemakaian cambuk dalam melaksanakan hukuman badan
5.
Penetapan hukuman 80 kali dera bagi pemabuk
6.
Pemungutan zakat atas kuda yang diperdagangkan
7. Larangan
penyebutan nama wanita dalam lirik syair.
8. Penetapan hijrah Nabi dan 1 Muharram sebagai awal
kalender
[1]
Muhammad Suhail
Tqosh, 2003. Tarikh Al- Khulafa Al-
Rasyidin Al-futuhat wal Injazat Al-siyasiyah. Beirut-Libanon: Daar
Al-Nafais, hlm.346
No comments:
Post a Comment