01 July 2016

Pengertian Periwayatan Hadits


A.   Pengertian Periwayatan Hadits
Periwayatan hadits adalah kegiatan penerimaan dan penyampaian hadis, serta penyandaran hadis itu kepada rangkaian para periwayatnya dengan bentuk-bentuk tertentu. Orang yang telah menerima hadis dari seorang periwayat, tetapi dia tidak menyampaiakan hadis itu kepada orang lain, maka dia tidak dapat disebut sebagai orang yang telah melakukan periwayatan hadis. Sekiranya orang tersebut menyampaikan hadis yang diterimanya kepada orang lain, tetapi ketika menyampaikan hadis itu tidak menyebutkan rangkaian para periwayatnya, maka orang tersebut juga tidak dapat dinyatakan sebagai orang yang telah melakukan periwayatan hadis.
Dari definisi di atas, dapat ditarik beberapa point penting yang harus ada dalam periwayatan hadis Nabi, yaitu; (1) orang yang melakukan periwayatan hadis yang kemudian dikenal dengan rawi (periwayat), (2) apa yang diriwayatkan (marwi), (3) susunan rangkaian pera periwayat (sanad/isnad), (4) kalimat yang disebutkan sesudah sanad yang kemudian dikenal dengan matan, dan (5) kegiatan yang berkenaan dengan proses penerimaan dan penyampaian hadits.
Dalam sistem periwayatan hadis, sahabat dianggap sebagai mata rantai pertama dan paling kritis dalam mata rantai yang menghubungkan hadits dengan Nabi saw. Masalah yang tidak kurang penting dari keandalan sahabat adalah cara literatur hadits dan disampaikan sesudah mereka. Isu utamanya sederhana, yaitu apakah proses penyampaian hadits cukup dapat dipercaya, paling tidak untuk menjamin tidak adanya penyimpangan dalam inti hadits asli tentang Nabi saw? Apakah penyampaian hadits sepenuhnya secara lisan atau tertulis? Apakah penyampaian secara lisan, terutama penyampaian makna (bil ma’na) dan bukan penyampaian kata demi kata (bil lafzh), dapat dianggap andal untuk melestarikan sunnah?
Pada era Nabi saw, kaitannya dengan penulisan hadits, Nabi menyampaikan sejumlah larangan sekaligus perintah. Kongritnya, dalam hadits yang melarang sahabat menulis sesuatu selain al Qur’an, ternyata setelah dilakukan penyelidikan lebih lanjut, terdapat illat khusus bagi pelarangannya yaitu karena adanya naskah yang ditulis dalam selembar kertas yang didalamnya bercampur antara al Qur’an dengan naskah lain. Namun, dalam pernyataan Nabi saw di hadits yang lain, Nabi saw  justru menyuruh untuk menuliskan hadits. Contohnya adalah hadits yang menyuruh sahabat menulis hadits kepada Abu Syah. Dengan demikian, ketika ada sesuatu yang awalnya dilarang, namun kemudian justru ada perintah yang menunjukkan kebalikannya, maka itu menunjukkan kebolehan melakukan hal itu, yakni penulisan dan pelestarian sumber keagamaan tersebut (hadits).
Berangkat dari sini dapat dipahami, diakui atau pun tidak, bahwa apa yang diucapkan, dilakukan, serta ditetapkan oleh Nabi banyak sekali yang tidak ditulis oleh para sahabat.
Meskipun demikian, juga tidak menafikan bahwa penulisan hadits telah ada sejak zaman Nabi saw. Paling tidak ini dapat dibuktikan oleh Musthafa al Siba’i dengan memberikan beberapa bukti, antara lain:
1.      Rasulullah menulis surat kepada raja-raja zamannya dan amir-amir jazirah Arabia untuk menyeru mereka kepada Islam,
2.      Sebagian sahabat memiliki shuhuf, “lembaran-lembaran bertulis” yang didalamnya berisi catatan tentang apa yang mereka dengar dari Rasulullah, seperti lembaran ‘Abdullah ibn ‘Amr ibn ‘Ash yang dinamainya al Shadiqah.
3.      Rasulullah menulis surat kepada sebagian petugas Beliau yang berisi ketentuan-ketentuan zakat unta dan domba.
Melihat keterangan diatas berarti anggapan yang berkembang selama ini bahwa Ibn Syihab al Zuhri adalah orang pertama yang menulis hadits telah terbantahkan. Mungkin lebih tepatnya, Ibn Syihab al Zuhri hanyalah orang pertama yang disponsori secara resmi oleh pemerintah, khalifah Umar ibn Abd al Aziz, untuk mengumpulkan hadits. Dengan kata lain, pengumpulan hadits tertulis oleh pribadi telah umum dilakukan, tetapi tidak seperti al Qur’an, sampai kemudian pada masa Ibn Syihab al Zuhri, hadits menjadi fokus upaya resmi regulasi atau sistematisasi.

B.   Proses Periwayatan Hadits
Sistem meriwayatkan hadits adalah dengan lafaz yang masih asli dari Rasulullah saw. atau dengan maknanya saja, sedangkan redaksinya disusun sendiri oleh orang yang meriwayatkannya. Hal itu disebabkan karena mereka sudah tidak ingat betul kepada lafaz aslinya, di samping mereka hanya mementingkan dari segi isinya yang benar-benar dibutuhkan pada saat itu.
 Sistem meriwayatkan hadis dengan maknanya saja tidak dilarang oleh Rasulullah saw. berlainan dengan meriwayatkan al-Quran, susunan bahasa dan maknanya sedikit pun tidak boleh diubah, baik dengan mengganti lafaz yang sinonim yang tidak mempengaruhi isinya, teristimewa kalau sampai membawa perbedaan makna. Hal itu disebabkan karena lafaz dan susunan kalimat al-Quran itu merupakan mukjizat Allah Taala. Tetapi, di dalam meriwayatkan hadis, yang dipentingkan ialah isinya. Adapun lafaz dan susunan bahasanya dibolehkan menggunakan lafaz dan susunan kalimat lain, asalkan kandungan dan maknanya tidak berubah.
Sebagaimana tersebut di atas, bahwa oleh karena adanya kesibukan para sahabat untuk menuliskan dan menyiarkan al-Quran, sudah barang tentu perkembangan hadits terlambat. Demikian juga pada masa kedua khalifah: Abu Bakar dan Umar, perkembangan hadits tidak begitu pesat. Hal itu disebabkan anjuran beliau kepada para sahabat agar mengutamakan penyiaran al-Quran ini, Umar bin Khaththab r.a. mengadakan larangan memperbanyak riwayat (hadits).
Kebijaksanaan kedua khalifah tersebut dapat dimaklumi mengingat bahwa masyarakat pada waktu itu belum seluruhnya mengenal al-Quran sebagai dasar syariat yang pertama. Terutama bagi masyarakat yang baru saja menerima dakwah Islam, al-Quran masih asing baginya. Kebijaksanaan itu bukan berarti menghambat hadits untuk berkembang, melainkan hanya belum menaruh perhatian secara sempurna.
Saat Utsman bin Affan r.a. memangku jabatan khalifah adalah merupakan saat yang penting bagi perkembangan hadits. Para sahabat kecil dan tabi'in mulai menaruh perhatian serius dalam mencari dan mengumpulkan hadis dari para sahabat besar, yang jumlahnya kian hari kian berkurang, dan tempat tinggalnya sudah mulai bertebaran di pelbagai pelosok. Tidak sedikit para sahabat kecil dan tabi'in menghabiskan waktu, tenaga, dan harta, melawat ke Timur dan Barat mengunjungi tempat-tempat kediaman para sahabat besar, karena mereka adalah yang orang-orang yang mendapatkan hadis dari sumber aslinya. Satu contoh sahabat Ayub al-Anshari pergi ke Mesir menemui sahabat Uqbah bin Amir untuk menanyakan sebuah hadis yang berbunyi (artinya), "Barang siapa yang menutupi kesulitan seorang muslim di dunia, Allah akan menutupi kesulitannya pada hari kiamat." (Baca uraian yang luas tentang sejarah penulisan dan pendewanan hadis dalam kitab Ash-Sunnah Qabla't Tadwin, karya Muhammad Ajjaj al-Khathib, dan uraian yang ringkas dalam kitab Qishshatu'l Muhammadi, karya Muhammad Abu Rayyah, hlm. 94--97).
     Pada saat kompetisi mencari dan mengumpulkan hadits inilah, hadits mulai menjadi tumpuan (objek) perhatian para sahabat dan tabi'in, dan sekaligus mulai berkembang dari dalam menuju ke luar.
Sejak berakhirnya pemerintahan Khalifah Utsman r.a. (40 H) dan pada awal berdirinya Khalifah Ali bin Abi Thalib r.a. mulai timbul hadis-hadis palsu, yakni ucapan atau buah pikiran seseorang yang didakwakannya kepada Nabi saw. Tetapi, berkat ketekunan dan penyelidikan para ahli hadis yang saksama terhadap tingkah laku para rawi dan keadaan marwinya, serta berkat usaha mereka mengadakan syarat-syarat dalam menerima atau menolak suatu hadis, dapatlah diketahui ciri-ciri kepalsuan suatu hadits.
Secara umum, terdapat 8 macam sistem dan cara penerimaan dan penyampaian hadits, yaitu:
1.    “Sama’ min lafdz al Syaikh”, yakni mendengar sendiri dari perkataan gurunya, baik secara dikte atau bukan, baik dari hafalannya maupun dari tulisannya. Cara sama’ ini sangat tinggi nilainya, sebab lebih meyakinkan tentang terjadinya pengungkapan riwayah. Adapun lafadz-lafadz yang digunakan oleh rawi dengan cara sama’ ini adalah seperti akhbarany, haddatsany atau sami’tu.
2.    “al Qira’ah ‘ala al Syaikh” (‘aradh), yakni murid membaca hadits dihadapan gurunya, baik dia sendiri yang menyampaikan atau yang mendengar yang meriwayatkan. Lafadh-lafadhnya seperti qara’tu ‘alaih, quri’a ‘ala fulan wa ana asma’u dan hadatsana qira’atan ‘alaih.
3.    “Ijazah”, yakni pemberian izin dari seseorang kepada orang lain untuk meriwayatkan hadits darinya atau dari kitab-kitabnya. Lafadhnya ajaztu laka........
4.    “Munawalah”, yaitu seorang guru memberikan sebuah naskah asli kepada muridnya atau salinan yang sudah dikoreksinya untuk diriwayatkan.
5.    “Muktabah”, yaitu seorang guru yang menulis sendiri atau menyuruh orang lain untuk menulis beberapa hadits kepada orang lain ditempat lain atau yang ada dihadapannya.
6.    “Wijadah”, yaitu memperoleh tulisan hadits orang lain yang tidak diriwayatkan dengan sama’,qira’ah, maupun selainnya, dari pemilik tulisan tersebut. Lafadhnya seperti qara’tu bi khaththi fulan, atau wajadtu bi khaththi fulan.
7.    “Washilah”, yaitu pesan seseorang di kala akan meninggal atau bepergian dengan sebuah kitab atau tulisan supaya diriwayatkan.
8.    “I’lam”, pemberitahuan guru kepada muridnya bahwa hadits yang diriwayatkannya adalah riwayatnya sendiri yang diterima dari seorang guru dengan tidak mengatakan (menyuruh) agar si murid meriwayatkannya.
Dari berbagai macam cara atau sistem periwayatan tersebut terlihat bahwa proses periwayatan hadits ditekankan pada superioritas penyampaian hadits secara langsung, pribadi, dan lisan, sedangkan tulisan hanyalah untuk membantu mengingat. Menurut argumen umum, penyampaian hadits secara lisan tidak hanya dapat dipercaya tetapi juga lebih baik daripada dokumen-dokumen yang tersebar. Lebih jauh lagi,  keandalan penyampaian hadits secara lisan ini juga dijamin dengan daya ingat orang-orang Arab yang luar biasa. Hal ini berbeda dengan catatan tertulis yang memiliki sedikit nilai karena tanpa dibuktikan kebenarannya oleh saksi yang hidup.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pada masa-masa awal, terlepas dari banyak sedikitnya, telah terjadi 2 cara penyampaian hadits yang disandarkan kepada Nabi, yaitu secara lisan dan juga melalui media tulisan.
Namun demikian, kenyataan yang terjadi penyampaian dengan lisan tampaknya lebih populer. Contoh kongrit adalah apa yang disampaikan oleh Umar bin Khaththab dan al Bara’ bin ‘Azib yang berkata, “Tidak semua hadits kami mendengarnya dari Rasulullah SAW secara langsung. Ketika para shahabat menyampaikannya kepada kami, pada waktu itu kami sibuk dengan menggembala onta. Dalam hal ini, langkah yang kami ambil adalah meminta kepada para shahabat yang pernah mendengarnya untuk mengulang kembali, terutama dari mereka yang kuat hafalannya.

C.   Macam-macam Hadits Akibat Proses Periwayatan Hadits
Hadits
Pada masa Abu Bakar, jumlah umat muslim masih relatif sedikit, sehingga eksekutif, legislatif dan yudikatif berada di tangan beliau. Sedangkan pada masa Umar bin Khattab jumlah umat Muslim semakin banyak sehingga perlu dibentuk lembaga-lembaga negara seperti lembaga kehakiman (Al-Qadhi),[1] Gubernur (Al-Wali), Lembaga Keuangan dan lain-lain.
Sebagai ahli fiqih, Umar bin Khattab dikenal berani melakukan ijtihad. Ijtihadnya meliputi berbagai bidang. Dalam bidang peribadatan, Umar bin Khattab berpendapat dalam hal empat takbir untuk shalat Jenazah, penyelenggaraan shalat Tarawih berjamaah, dan penambahan kata “as-salaatu khairum minan naum” dalam azan subuh. Beberapa jasa Umar bin Khattab yang lain dalam bidang hukum adalah :
1. Penetapan aturan pembagian harta warisan
2. Perumusan prinsip kias
3. Pengangkatan para hakim
4. Pemakaian cambuk dalam melaksanakan hukuman badan
5. Penetapan hukuman 80 kali dera bagi pemabuk
6. Pemungutan zakat atas kuda yang diperdagangkan
7. Larangan penyebutan nama wanita dalam lirik syair.
8. Penetapan hijrah Nabi dan 1 Muharram sebagai awal kalender


[1] Muhammad Suhail Tqosh, 2003. Tarikh Al- Khulafa Al- Rasyidin Al-futuhat wal Injazat Al-siyasiyah. Beirut-Libanon: Daar Al-Nafais,  hlm.346

No comments:

Post a Comment