01 July 2016

KONSEPSI ISLAM TENTANG ALAM DAN KEHIDUPAN; Hakikat dan Pengertian Islam, Hakikat Manusia dan Alam



A.  Hakikat Islam
Islam adalah agama yang dibawa Nabi Muhammad saw. sebagai kelanjutan dan penyempurnaan agama yang dibawa oleh para Nabi sebelumnya.[1] Pengertian Islam bisa dibahas dari dua aspek, yaitu aspek kebahasaan dan aspek peristilahan. Dari segi kebahasaan, Islam berasal dari bahasa Arab yaitu dari kata salima yang mengandung arti selamat, sentosa, dan damai. Dari kata salima selanjutnya diubah menjadi bentuk aslama yang berarti berserah diri masuk dalam kedamaian. Oleh sebab itu orang yang berserah diri,  patuh, dan taat kepada Allah swt. disebut sebagai muslim. Dari uraian tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa kata Islam dari segi kebahasaan mengandung arti patuh, tunduk, taat, dan berserah diri kepada Allah swt. dalam  upaya mencari keselamatan dan kebahagiaan hidup di dunia dan  akhirat. Hal itu dilakukan atas kesadaran dan kemauan diri sendiri, bukan paksaan atau berpura-pura, melainkan sebagai panggilan dari fitrah dirinya sebagai makhluk yang sejak dalam kandungan telah menyatakan patuh dan tunduk kepada Allah swt.
Adapun pengertian Islam dari segi istilah, banyak para ahli yang mendefinisikannya; di antaranya Prof. Dr. Harun Nasution. Ia mengatakan bahwa Islam menurut istilah (Islam sebagai agama) adalah agama yang ajaran-ajarannya diwahyukan Tuhan kepada masyarakat manusia melalui Nabi Muhammad saw. sebagai Rasul. Islam pada hakikatnya membawa ajaran-ajaran yang bukan hanya mengenal satu segi, tetapi mengenal berbagai segi dari kehidupan manusia.
Sementara itu Maulana Muhammad Ali mengatakan bahwa Islam adalah agama perdamaian; dan dua ajaran pokoknya, yaitu keesaan Allah dan kesatuan atau persaudaraan umat manusia menjadi bukti nyata bahwa agama Islam selaras benar dengan namanya. Islam bukan saja dikatakan sebagai agama seluruh Nabi Allah, sebagaimana tersebut dalam al-Qur’an,  melainkan pula pada segala sesuatu yang secara tak sadar tunduk sepenuhnya pada undang-undang.
Di kalangan masyarakat Barat, Islam sering diidentikkan dengan istilah Muhammedanism dan Muhammedan. Peristilahan ini timbul karena pada umumnya agama di luar Islam namanya disandarkan pada nama pendirinya. Di Persia misalnya ada agama Zoroaster. Agama ini disandarkan pada nama pendirinya, Zarathustra (W.583 SM). Agama lainnya, misalnya agama Budha, agama ini dinisbahkan kepada tokoh pendirinya, Sidharta Gautama Budha (lahir 560 SM). Demikian pula nama agama Yahudi yang disandarkan pada orang-orang Yahudi (Jews) yang berasal dari negara Juda (Judea) atau Yahuda.
Penyebutan istilah Muhammedanism dan Muhammedan untuk agama Islam, bukan saja tidak tepat, akan tetapi secara prinsip hal itu merupakan kesalahan besar. Istilah tersebut bisa mengandung arti bahwa Islam adalah paham Muhammad atau pemujaan terhadap Muhammad, sebagaimana perkataan agama Budha yang mengandung arti agama yang dibangun oleh Sidharta Gautama Budha atau paham yang berasal dari Sidharta Gautama. Analogi nama dengan agama-agama lainnya tidaklah mungkin bagi Islam.
Berdasarkan keterangan tersebut, Islam menurut istilah mengacu kepada agama yang bersumber pada wahyu yang datang dari Allah swt, bukan berasal dari manusia/Nabi Muhammad saw. Posisi Nabi dalam agama Islam diakui sebagai orang yang ditugasi Allah untuk menyebarkan ajaran Islam tersebut kepada umat manusia. Dalam proses penyebaran agama Islam, nabi terlibat dalam memberi keterangan, penjelasan, uraian, dan tata cara ibadahnya. Keterlibatan nabi ini pun berada dalam bimbingan wahyu Allah swt. Dengan demikian, secara istilah, Islam adalah nama agama yang berasal dari Allah  swt. Nama Islam tersebut memiliki perbedaan yang luar biasa dengan nama agama lainnya. Kata Islam tidak mempunyai hubungan dengan orang tertentu, golongan tertentu, atau negeri tertentu. Kata Islam adalah  nama yang diberikan oleh Allah swt. Hal itu dapat dipahami dari petunjuk ayat-ayat al -Qur’an yang diturunkan Allah swt.

B.  Hakikat Manusia
Pemikiran filsafat mencakup ruang lingkup yang berskala makro yaitu: kosmologi, ontologi, philosophy of mind, epistimologi, dan aksiologi. Untuk melihat bagaimana sesungguhnya manusia dalam pandangan filsafat pendidikan, maka setidaknya karena manusia merupakan bagian dari alam semesta (kosmos). Berangkat dari situ dapat kita ketahui bahwa manusia adalah ciptaan Allah swt. yang pada hakekatnya sebagai abdi penciptanya (ontologi). Agar bisa menempatkan dirinya sebagai pengabdi yang setia, maka manusia diberi anugerah berbagai potensi baik jasmani, rohani, dan ruh (philosophy of mind). Sedangkan pertumbuhan serta perkembangan manusia dalam hal memperoleh pengetahuan itu berjalan secara berjenjang dan bertahap  melalui pengembangan potensinya, pengalaman dengan lingkungan serta bimbingan, didikan dari Tuhan (epistimologi), oleh karena itu hubungan antara alam lingkungan, manusia, semua makhluk ciptaan Allah swt. dan hubungan dengan Allah sebagai pencita seluruh alam raya itu harus berjalan bersama dan tidak bisa dipisahkan. Adapun manusia sebagai makhluk dalam usaha meningkatkan kualitas sumber daya insaninya itu, manusia diikat oleh nilai-nilai ilahi (aksiologi). Dari sini dapat kita simpulkan bahwa manusia itu makhluk altematif (bebas) tetapi sekaligus terikat (tidak bebas nilai).
Manusia adalah subyek pendidikan, sekaligus juga obyek pendidikan. manusia dewasa yang berkebudayaan adalah subyek pendidikan yang berarti bertanggungjawab menyelenggareakan pendidikan. mereka berkewajiban secara moral atas perkembangan pribadi anak-anak mereka, yang notabene adalah generasi penerus mereka. manusia dewasa yang berkebudayaaan terutama yang berprofesi keguruan (pendidikan) bertanggung jawab secara formal untuk melaksanakan misi pendidikan sesuai dengan tujuan dan nilai-nilai yang dikehendaki, masyarakat bangsa itu.
Manusia yang belum dewasa, dalam proses perkembangan kepribadiannya, baik menuju pembudayaan maupun proses kematangan dan intregitas, adalah obyek pendidikan. Artinya mereka adalah sasaran atau bahan yang dibina. Meskipun kita sadari bahwa perkembangan kepribadian adalah self development melalui self actifities, jadi sebagai subjek yang sadar mengembangkan diri sendiri.
Hakikat manusia sebagai makhluk ciptaan Allah tidak mungkin dijelaskan secara tuntas oleh pemikiran filsafat yang hanya mengandalkan kemampuan optimal rasio tapi harus merujuk ke Sang Pencipta yaitu Allah swt.[2] Dalam al-Quran dijelaskan mengenai konsep manusia dengan menggunakan sebutan :
1. Bani Adam
 Artinya dari aspek historis seluruh manusia berasal dari satu keturunan yang sama yaitu Adam as. Firman Allah;

يَا بَنِي آدَمَ خُذُواْ زِينَتَكُمْ عِندَ كُلِّ مَسْجِدٍ وكُلُواْ وَاشْرَبُواْ وَلاَ تُسْرِفُواْ إِنَّهُ لاَ يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ
 Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih- lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan. (Al-A’raf; 31)

2. Basyar
Artinya kulit kepala, wajah atau tubuh, yang menjadi tempat tumbuhnya rambut. Bisa juga berarti mulamasah, yaitu persentuhan kulit antara laki-laki dengan perempuan. Secara biologis, manusia merupakan makhluk yang memiliki segala sifat kemanusiaan dan keterbatasan  seperti makan minum, seks, keamanan, kebahagiaan dan lain sebagainya. [3] Firman Allah swt:
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَكُم مِّن تُرَابٍ ثُمَّ إِذَا أَنتُم بَشَرٌ تَنتَشِرُونَ
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan kamu dari tanah, kemudian tiba-tiba kamu (menjadi) manusia yang berkembang biak. (Ar-Rum; 20)

3. Insan
Akar kata insan adalah uns yang artinya jinak, tampak, dan harmonis. Secara biologis postur tubuh manusia terlihat demikian sempurna serasi dan harmonis.[4] Firman Allah swt:
لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ
Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. (At-Tiin; 4)

4. al-Naas
Artinya bahwa manusia adalah makhluk sosial yang bersifat umum terlepas apakah  muslim atau kafir. [5] Firman Allah swt;
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (Al-Hujurat; 13)

5. ‘Abd
Artinya bahwa secara posisional manusia adalah hamba Sang Pencipta yang segala aktifitas manusia adalah untuk menghamba / beribadah kepada-Nya. [6]  Konsep ‘abd mengacu pada tugas-tugas individual manusia sebagai hamba Allah. Secara luas, konsep ‘abd sebenarnya meliputi seluruh aktivitas manusia dalam kehidupannya. Islam menggariskan bahwa seluruh aktivitas seorang hamba selama ia hidup di alam semesta dinilai sebagai ibadah jika aktvitas itu ditujukan semata-mata hanya untuk mencari ridha Allah swt. Bekerja, belajar jika ditujukan hanya untuk mencari ridha allah itu akan menjadi ibadah. Jadi semua aktivitas seorang hamba dalam seluruh dimensi kehidupan adalah ibadah jika dilakukan hanya untuk mencari ridha Allah semata.
Firman Allah swt:
أَفَلَمْ يَرَوْا إِلَى مَا بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَمَا خَلْفَهُم مِّنَ السَّمَاء وَالْأَرْضِ إِن نَّشَأْ نَخْسِفْ بِهِمُ الْأَرْضَ أَوْ نُسْقِطْ عَلَيْهِمْ كِسَفًا مِّنَ السَّمَاء إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَةً لِّكُلِّ عَبْدٍ مُّنِيبٍ

Maka apakah mereka tidak melihat langit dan bumi yang ada di hadapan dan di belakang mereka? Jika Kami menghendaki, niscaya Kami benamkan mereka di bumi atau Kami jatuhkan kepada mereka gumpalan dari langit. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kekuasaan Tuhan) bagi setiap hamba yang kembali (kepada-Nya). (Saba’; 9)


6.  Khalifah
Artinya pemimpin atau pengganti Allah di bumi yang mengemban amanat kemanusiaan, pertanggungjawaban, usaha dan akibat-akibat perbuatan, cobaan dan ujian yang dihadapinya. [7]  Firman Allah swt;

وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلاَئِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الأَرْضِ خَلِيفَةً قَالُواْ أَتَجْعَلُ فِيهَا مَن يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاء وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لاَ تَعْلَمُونَ

Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui." (Al-Baqarah; 30)


7. al-Ins
Artinya tidak liar atau tidak bebas, maksudnya manusia punya potensi untuk menjadi makhluk berperadaban. Sebuah peradaban adalah hasil dari aktifitas manusia yang menetap tidak liar. [8] Firman Allah swt;
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku (adz-Dzariyat:56)


8. Ummah
Artinya bahwa ada kesamaan latarbelakang yang dijadikan alasan untuk tergabung dalam kelompok umat, pengertian ini menampilkan umat sebagai kelompok sejenis yakni manusia. [9] Firman Allah swt;
وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا طَائِرٍ يَطِيرُ بِجَنَاحَيْهِ إِلَّا أُمَمٌ أَمْثَالُكُمْ مَا فَرَّطْنَا فِي الْكِتَابِ مِنْ شَيْءٍ ثُمَّ إِلَى رَبِّهِمْ يُحْشَرُونَ
Dan tiadalah hewan-hewan yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya melainkan umat-umat juga seperti kamu. (Q.6:38)


C.  Hakikat Alam
Alam berarti  dunia, alam semesta, jika dianalisis alam  merupakan alam  yang sesungguhnya atau alam yang  nyata. Dengan kata lain alam semesta adalah tempat bernaung makhluk-mahkluk Allah  swt. Berpegang pada dalil-dalil al-Qur’an, maka alam semesta ini diciptakan oleh Allah untuk kepentingan manusia dan untuk dipelajari manusia agar dapat menjalankan fungsi dan kedudukannya sebagai manusia di muka bumi ini. Berikut ini diuraikan konsepsi alam menurut ilmu pengetahuan, agama dan filsafat.
Konsepsi alam menurut ilmu pengetahuan tid ak konstan  tapi  berubah-ubah berdasarkan perkembangan ilmu pengetahuan.[10]  Oleh karena itu  dalam Islam ilmu pengetahuan tidak untuk memuaskan rasa ingin tau belaka tapi hendaknya untuk menambah keimanan. [11]  Alam yang menjadi sumber  ilmu  pengetahuan  (ilmiah), pengertiannya dibatasi pada alam empirik yang bisa diteliti hukum alam beserta realitas yang terkandung di dalamnya. Berdasarkan sains atau ilmu pengetahuan maka alam semesta yang  kita ketahui sekarang ini mulanya berasal dari gas yang berserakan  secara teratur di angkasa kemudian menjadi kabut (menjadi kumpulan kosmos-kosmos) dalam pengertian alam semesta mencakup tentang mikrokosmos dan makrokosmos. Mikrokosmos yaitu benda-benda yang berukuran kecil seperti, atom, sel, elektron dan benda-benda kecil lainnya. Adapun makrokosmos yaitu benda-benda  yang berukuran besar, seperti bintang, planet dan matahari.[12]   
Konsepsi alam menurut Islam bersifat absolut. Konsepsi alam dalam referensi Islam adalah segala sesuatu yang ada selain Allah swt. Kehidupan manusia dan peredaran alam diatur Allah swt. dalam tata kehidupan tertentu, yang dinamakan “sunnatullah”.  Secara umum alam terdiri dari alam dunia dan  alam akhirat, namun secara periodik maka  alam dibagi 4, yaitu: alam ruh, alam dunia, alam  kubur, dan alam akhirat. Alam akhirat merupakan alam terakhir yang abadi sedangkan alam kubur  lebih lama dari alam dunia yang sangat singkat. 
Adapun konsepsi alam berdasarkan filsafat bersifat konstan, [13] menurut Ibn Sina alam dibagi ke dalam tiga kategori; Wajib Al-Wujud, Mumkin Al-Wujud, dan Mumtani’ Al-Wujud (ontologi). Alam diciptakan oleh Allah dari emanasi-Nya (pancaran) yang menjadikan akal manusia ingat kepada Allah bahwa alam itu diciptakan-Nya (aksiologi). Allah sama sekali tidak sama dengan makhluk-Nya, Allah-lah yang telah menciptakan alam dari ketiadaan (epistemologi).

D.  Kedudukan Manusia di Alam Menurut Islam
Manusia adalah makhluk yang paling sempurna oleh karena itu manusia mendapat posisi yang sangat strategis di alam yaitu sebagai  hamba Allah (‘abd Allah) dan khalifah Allah (khalifah Allah fi al-ardh). [14] Secara hirarkis ‘abd berada pada kedudukan yang paling rendah. Ia menjadi milik dan hamba “Tuan” nya. Di antara sikap seorang hamba yang harus diperlihatkan kepada tuannya adalah, tunduk, patuh dan taat. [15]  Konsep khalifah secara hirarkis berada pada kedudukan tertinggi yang mengandung pengertian bahwa manusia mengemban tugas untuyk mewujudkan serta membina sebuah tatanan kehidupan yang harmonis di bumi. Keharmonisan yang menyangkut hubungan antar, sesama manusia, dan antar manusia dengan alam raya, sesuai dengan perintah yang diamanatkan Allah kepadanya. [16]
Kedudukan manusia sebagai ‘abd dan khalifah disebabkan karena manusia memiliki  potensi (fitrah)  berupa ‘aql, qalb dan nafs. Namun potensi tersebut tidak otomatis berkembang tapi bergantung pada usaha manusia untuk mengembangkannya. Untuk itu Allah menurunkan wahyu-Nya kepada para Nabi, agar menjadi pedoman bagi manusia dalam mengaktualisasikan fitrahnya secara utuh dan selaras dengan tujuan penciptaannya. [17] 
 



[1]Kaelany HD, Islam, Iman dan Amal Saleh, (Jakarta  : Rineka Cipta, 2000), hlm. 1.
[2]Jalaluddin, Filsafat Pendidikan Islam Telaah Sejarah dan Pemikirannya, (Jakarta: Kalam Mulia, 2011), hlm. 79.
[3]Ramayulis dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam Telaah Sistem Pendidikan dan Pemikiran Para Tokohnya, (Jakarta: Kalam Mulia, 2011), hlm. 48.
[4]Jalaluddin, op.cit., hlm. 86.
[5]Ramayulis dan Samsul Nizar, op.cit., hlm. 54.
[6]Jalaluddin, op.cit., hlm. 80.
[7] ibid., hlm. 92.
[8] ibid., hlm. 90.
[9] ibid., hlm. 95.
[10]Murtadha Muthahhari, Manusia dan Alam Semesta: Konsepsi Islam tentang Jagad Raya, (Jakarta : Lentera, 2002), hlm. 52.
[11]Mulyadhi Kartanegara, Nalar Religius Menyelami Hakikat Tuhan, Alam dan Manusia, (Jakarta : Erlangga, 2007), hlm. 45.
[12]A. Mahardono dan S.A Bandono, Serba-Serbi Dunia Kehidupan , (Bandung:: Karya Indah, 1991), hlm. 16.
[13]Murtadha Muthahhari, op.cit., hlm. 54.
[14]Ramayulis dan Samsul Nizar, op.cit., hlm. 57.
[15]Jalaluddin, loc.cit.
[16]Jalaluddin, op.cit., hlm. 94.
[17]Ramayulis dan Samsul Nizar, op.cit., hlm. 60-61.

No comments:

Post a Comment