29 June 2016

LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM SEBELUM MADRASAH


LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM SEBELUM
MADRASAH


A. Munculnya Lembaga Pendidikan Islam Sebelum Madrasah
Pada awalnya faktor yang mendorong munculnya lembaga-lembaga pendidikan Islam adalah  dakwah Islam, dan pengembangan ilmu pengetahuan, kemudian berkembang menjadi faktor ekonomi dan politik. Pelaksanaan dakwah Islam di Makkah dilakukan di rumah al-Arqam bin Abi al-Arqam. Lalu pada periode Madinah didirikanlah masjid pertama sebagai tempat ibadah dan tempat belajar agama Islam. Dengan bertambahnya jumlah kaum muslimin maka bertambah pula jumlah lembaga pendidikan Islam. Kuttab/maktab yang sudah ada pada masa sebelum Islam, dijadikan tempat anak-anak belajar baca tulis al-Qur’an, sebelum melanjutkan pelajarannya ke tingkat menengah dan tinggi di masjid.
Guru di kuttab/maktab dan guru di masjid tidak digaji, melainkan mengajar dengan ikhlas demi dakwah Islam dan ibadah. Namun sejak masa Daulah Umayyah, guru-guru yang mengajar di istana digaji oleh khalifah. Kemudian pada masa dinasti Saljuq, terjadi persaingan politik antara dinasti Saljuq (Sunni) dan dinasti Buwaihi (Syi’ah). Dinasti Saljuq mendirikan madrasah Nizhamiyah yang menyebarkan faham Sunni untuk membendung faham Syi’ah.[1]
    

B. Lembaga Pendidikan Islam Sebelum Madrasah

1. Kuttab/Maktab
Lembaga pendidikan ini sudah ada sebelum kedatangan Islam.[2]  Kuttab/maktab adalah lembaga pendidikan dasar tempat belajar tulis menulis, kemudian pada masa Islam lembaga ini berkembang menjadi lembaga pengajaran al-Quran dan ilmu agama tingkat dasar.[3] Karena merupakan lembaga pendidikan tingkat dasar, maka kuttab/maktab menerima siswa usia antara lima sampai tujuh tahun dan menyelesaikan pendidikannya setelah berusia empat belas tahun.[4]

2. Rumah
Rumah pertama yang dijadikan lembaga pendidikan Islam oleh Rasulullah saw. selain rumah beliau sendiri adalah rumah al-Arqam bin Abi al-  Arqam, dalam bahasa Arab rumah al-Arqam bin Abi al-Arqam disebut darularqam. Di sinilah  Rasulullah saw. menyampaikan dan mengajarkan ajaran Islam dengan sistem pendidikan berbentuk halaqoh selama tiga belas tahun.[5] Karena masih pada periode Mekkah, maka materi pelajaran adalah al-Qur’an, dasar-dasar tauhid dan akhlak.
Dengan masuknya Umar bin khattab jumlah siswa darularqam berjumlah empat puluh orang. Dengan masuknya Umar bin khattab, dakwah dilakukan dengan terang-terangan. Pada tahun 171 H/ 787 M al-Khaizaran, sahaya al-Mahdi al-Abbasi mengubah darularqam menjadi masjid. Pada tahun 1375 H/ 1955 M mesjid ini dirubuhkan untuk perluassan tempat sa’i.  Untuk mengenang tempat ini pintu pertama yang digunakan untuk sa’i di dekat bukit Shafa diberi nama pintu darularqam.[6]
Selain itu Rasulullah saw. juga menyarankan para sahabat yang sudah mendapat pendidikan di darularqam, agar memberi pelajaran di rumah masing-masing sebagai mana sabda beliau:
وَ قَالَ مَالِك بن الحُوَارِث و َقَال لنَا النَّبِي صَلَّى الله عَلَيْهِ و َسَلَّم : اِرْجِعُوْا اِلَى اَهْلِيْكُمْ فَعَلِّمُوْهُمْ (رواه البخاري)
Artinya: Malik bin al-Huwarits berkata: Rasulullah saw bersabda kepada kami: Kembalilah kepada keluargamu kemudian ajarilah mereka (HR. Bukhari).[7]

3. Masjid
Pada masa awal Islam, lembaga pendidikan terdiri dari dua tingkat, yaitu tingkat dasar (kuttab) dan tingkat pendalaman (mesjid).[8] Pada masa Rasulullah saw. tepatnya pada periode Madinah, mesjid adalah pusat pendidikan, informasi, kegiatan sosial dan ekonomi. Menurut  al-Baladzuri dan Ibnu Hasyim, mesjid yang pertama kali dibangun adalah mesjid at-Taqwa di Quba, oleh para sahabat yang lebih dahulu hijrah ke Madinah. Kemudian setelah Nabi saw. hijrah ke Madinah, Beliau bersama-sama dengan para sahabat membangun mesjid al-Mirbad.[9] 
Pada perkembangan berikutnya, mesjid terbagi dua yaitu mesjid biasa (musolla) dan mesjid jami’. Dalam mesjid jami’ diselenggarakan shalat Jum’at dan dalam mesjid jami’ pula terdapat halaqoh-halaqoh, majlis-majlis dan zawiyah-zawiyah.[10]
Seiring dengan bertambahnya jumlah siswa dan berkembangnya kurikulum maka mesjid tidak mampu lagi menampung halaqoh-halaqoh majlis-majlis dan zawiyah-zawiyah. Lalu pada akhirnya beberapa mesjid bertranformasi menjadi madrasah atau jami’ah, sehingga jenjang pendidikan menjadi bertambah yaitu: tingkat dasar (kuttab), tingkat menengah (masjid) dan tingkat tinggi (madrasah/jami’ah).[11] Beberapa mesjid yang bertransformasi menjadi madrasah/jami’ah antara lain; Jami’ ‘Amru bin al’Ash didirikan oleh Panglima ‘Amru bin al’Ash (21 H/ 642 M), Jami’ al-‘Askar didirikan oleh Panglima Abu Ismail Ghamir (132 H/ 749 M), Jami’ Ibnu Thulun didirikan oleh Sultan Ahmad bin Tulun (265 H/ 878 M), Jami’ al-Azhar didirikan oleh Panglima Jauhar al-Siqili (360 H/ 974 H).[12]
Sedangkan di Indonesia penggunaan kata madrasah adalah untuk pendidikan dasar dan menengah. Di Indonesia perkataan madrasah sebagai nama dari sebuah lembaga pendidikan Islam baru populer di awal abad ke dua puluh, yaitu dalam bentuk pesantren, rangkang, dayah dan surau.[13] Di antara ulama yang berjasa dalam menggagas tumbuhnya madrasah di Indonesia antara lain Syekh Abdullah Ahmad, pendiri Madrasah Adabiyah di Padang tahun 1909, Syekh M. Thaib Umar mendirikan Madrasah School tahun 1910 di Batu Sangkar  tapi hanya berjalan tiga tahun kemudian ditutup, lalu tahun 1918 dibuka kembali oleh Mahmud Yunus dan pada tahun 1923 berganti nama dengan Diniyah School. Pada tahun 1915 Zainuddin Labai al-Yunusi mendirikan Madrasah Diniyah di Padang Panjang. KH Ahmad Dahlan pada tahun 1912 mendirikan organisasi Muhammadiyah yang membangun banyak sekolah.[14]

4. Shuffah
Shuffah adalah lembaga pendidikan Islam  yang  didirikan oleh Rasulullah saw. di sebelah mesjid untuk orang yang tidak mampu.  Lembaga ini pada awalnya untuk belajar al-Qur’an, tapi kemudian berkembang  menjadi dasar-dasar berhitung, kedokteran, astronomi dan ilmu fonetik. Ada sembilan shuffah yang tersebar di kota Madinah, salah satunya berlokasi di samping mesjid Nabawi.[15]
Orang yang tinggal di shuffah di sebut ahlussuffah dan mereka mendapat perhatian yang lebih dari Rasulullah saw. Hadiah-hadiah yang diperoleh oleh Rasulullah saw. diserahkan kepada ahlussuffah. Kegiatan ahlussuffah selain belajar dan beribadah adalah membantu Rasulullah saw. di medan perang.[16]

5. Khan
    Khan adalah gudang penyimpanan barang dalam jumlah yang besar, sebagai sarana komersial yang dimiliki oleh toko.  Selain itu khan juga berfungsi sebagai asrama bagi murid-murid dari luar daerah yang ingin belajar agama di mesjid. Di samping fungsi tersebut di atas khan juga berfungsi senagai tempat belajar privat. [17]

6. Salun
Salun adalah lembaga pendidikan Islam  yang mengajarkan seni dan sastra. Menurut ‘Abd al-’Al, salun ada pada dinasti  ‘Abasiyyah, tapi menurut Harun Nasution, salun sudah ada pada dinasti Umayyah, dan berkembang dengan megah pada dinasti ‘Abbasiyyah.[18]

7. Halaqoh
Halaqoh artinya lingkaran, yaitu murid-murid duduk di lantai melingkari gurunya. Kegiatan halaqoh ini bisa terjadi di masjid atau di rumah-rumah. Sistem halaqoh tidak mengenal sistem klasikal, semua umur dan jenjang berkumpul bersama untuk mendengarkan penjelasan guru. Jadi tidak dibedakan antara usia dan jenjang pendidikannya.[19]

8. Majlis
Istilah majlis telah dipakai dalam pendidikan sejak abad pertama Islam. Misalnya, ia merujuk pada arti tempat-tempat pelaksanaan belajar mengajar. Pada perkembangan berikutnya di saat dunia pendidikan Islam mengalami zaman keemasan, majlis berarti sesi di masa aktifitas pengajaran atau diskusi berlangsung dan belakangan majlis diartikan sebagai sejumlah aktifitas pengajaran, sebagai contoh, majlis al-Nabawi, artinya majlis yang dilaksanakan oleh nabi atau majlis al-Syafi’i artinya majlis yang mengajarkan fiqih Imam Syafi’i.[20]
Beberapa macam majlis antara lain: Majlis al-Hadits, yaitu majlis yang diselenggarakan oleh ulama yang ahli hadits. Majlis al-Tadris, yaitu majlis yang mengadakan pengajaran selain hadits seperti; majlis fiqh, majlis nahwu atau majlis kalam. Majlis al-Munazarah, yaitu digunakan untuk perdebatan antar ulama. Majlis a-Muzakarah yaitu majlis yang diselenggarakan oleh murid-murid majlis al-hadits untuk mengulang pelajaran sambil menunggu kedatangan guru. Majlis al-Syu’ara, yaitu majlis untuk belajar sya’ir. Majlis al-Adab yaitu majlis untuk belajar sastra. Majlis al-Fatwa atau al-Nazar yaitu sarana pertemuan untuk mencari keputusan suatu masalah di bidang hukum kemudian difatwakan, disebut al-Nazar karena karakteristik majlis ini adalah perdebatan antara ulama fiqh/hukum Islam. [21]



9. Zawiyah

Kata Zawiyah pada mulanya merujuk kepada sudut dari suatu bangunan, dan sering dikaitkan dengan mesjid. Di sudut mesjid tersebut terjadi proses pendidikan antara si pendidik dan si terdidik. Selanjutnya zawiyah dikaitkan dengan tarekat-tarekat sufi, di mana seorang syekh atau mursyid melakukan kegiatan pendidikan kaun sufi.[22]

10. Ribath
Ribath adalah tempat kegiatan kaum sufi yang ingin menjauhkan diri dari kehidupan duniawi dan mengkonsentrasikan diri untuk ibadah semata-mata.[23] Ribath biasanya dihuni oleh sejumlah orang-orang miskin. Mereka bersama-sama melakukan praktik-praktik sufistik. Disamping melakukan praktek sufistik, mereka juga memberi perhatian kepada kegiatan keilmuwan.

11. Toko Buku & Perpustakaan
Perpustakaan dan Toko buku merupakan tempat di mana terdapat kumpulan-kumpulan atau koleksi buku yang dapat dibaca-baca. Perpustakaan berkembang luas pada masa Abbasiyyah, baik perpustakaan umum maupun perpustakaan pribadi. Faktor-faktor yang menyebabkan perkembangan itu antara lain ialah meluasnya penggunaan kertas untuk menyalin kitab-kitab, munculnya para penyalin kitab, dan berkembangnya halaqoh para sastarawan dan ulama.
Di Bashrah pada abad ke 10 Masehi, dibangun perpustakaan yang dijaga oleh para sarjana yang digaji oleh pendiri perpustakaan. Di Syiraz oleh penguasa Buwaihi, Adud ad-Dawlah (977-982 M) dibangun perpustakaan yang semua buku-bukunya disusun di atas lemari-lemari, didaftar dalam katalog dan diatur dengan baik oleh staf administrator yang berjaga segara bergiliran.[24]
Pada tahun 891 M di ibukota kekhalifahan ‘Abbasiyyah terdapat lebih dari seratus toko buku yang berderet di satu ruas jalan. Demikian juga di Damaskus dan Kairo. [25]

12. Rumah Sakit
Rumah sakit berfungsi sebagai tempat untuk merawat dan mengobati orang sakit, serta sebagai tempat mendidik tenaga-tenaga yang berhubungan dengan perawatan dan pengobatan. Pada masa klasik, penelitian dan percobaan dalam bidang kedokteran dan obat-obatan juga telah dilaksanakan sehingga ilmu kedokteran dan obat-obatan berkembang dengan pesat.[26]

13. Badiah
Badiah adalah padang pasir, dusun tempat tinggalnya orang Badwi. Orang badwi yang tinggal di badiah-badiah tetap mempertahankan keaslian dan kemurnian bahasa Arab. Banyak anak-anak khalifah, ulama-ulama dan para ahli ilmu pengetahuan pergi ke badiah-badiah dalam rangka mempelajari ilmu bahasa dan kesusasteraan Arab. Dengan begitu badiah-badiah telah berfungsi sebagai lembaga pendidikan. [27]

C. Keadaan Lembaga Pendidikan Islam Sebelum Madrasah
Lembaga pendidikan Islam sebelum madrasah masih sangat sederhana, namun seiring dengan perkembangan zaman, lembaga pendidikan tersebut bertransformasi menjadi madrasah. Menurut Ahmad Syalabi bahwa transformasi berawal dari masjid ke madrasah. Sedangkan menurut George Makdisi, transformasi berawal dari masjid, masjid-khan dan madrasah.
Lembaga pendidikan Islam periode sebelum madrasah tidak mengenal sistem klasikal, walaupun pada masa kejayaan pendidikan Islam yaitu pada masa daulah ‘Abbasiyyah sudah ada yang menggunakan perabotan seperti kursi dan meja namun tingkatan pendidikan Islam pada masa ini hanya menggunakan penggolongan tingkatan/level secara umum yaitu; pendidikan Islam tingkat rendah, menengah dan tinggi.
Pendidikan Islam tingkat rendah dilaksanakan di kuttab/maktab sedangkan tingkat menengah dan tinggi diselenggarakan di masjid. Adapun yang membedakan antara tingkat menengah dan tinggi adalah; pada tingkat menengah diampu oleh ulama yang tidak terkenal, sedangkan pada tingkat tinggi diampu oleh ulama besar yang memiliki pengetahuan yang mendalam dengan integritas kesalehan dan kealiman yang diakui oleh masyarakat.
Lembaga pendidikan Islam sebelum periode madrasah belum dikelola secara menyeluruh dan profesional oleh pemerintah, tapi lebih banyak dikelola sendiri-sendiri oleh pihak swasta atau ulama, sehingga lebih sulit untuk menentukan standar kurikulum. Umumnya materi pembelajaran pada tingkat rendah adalah baca tulis al-Qur’an, dan pengetahuan agama tingkat dasar seperti, aqidah-akhlak, ibadah, dan muamalat. Sedangkan materi pembelajaran pada tingkat menengah dan tinggi adalah; al-Qur’an beserta tafsirnya, al-Hadits beserta syarahnya serta ilmu Fiqh.[28]    





[1] Ramayulis,2012, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta; Kalam Mulia, hlm.140.
[2] Samsul Nizar, 2009. Sejarah Pendidikan Islam, Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasullullah Sampai Indonesia, Jakarta: Kencana, hlm.16.
[3] Abudin Nata, 2010. Sejarah Pendidikan Islam Pada Periode Klasik dan Pertengahan, Jakarta: RajaGrafindo Persada, hlm.33.
[4] Abdul Mukti, 2008. Pembaharuan Lembaga Pendidikan di Mesir, Bandung: Citapustaka Media Perintis, hlm.53.
[5] Samsul Nizar, 2009, op.cit., hlm.111.
[6] Muhammad Ilyas abdul Ghani, 2003. Sejarah Kota Mekkah Klasik dan Modern, Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, hlm.53.
[7] Samsul Nizar dan Zainal Efendi Hasibuan, 2011. Hadis Tarbawi, Bandung: Kalam Mulia, hlm.24.
[8] Badri Yatim, 1993. Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: RajaGrafindo Persada, hlm.54.
[9] Samsul Nizar, 2009, op.cit., hlm.116.
[10] Abudin Nata, 2010. op.cit., hlm.38.
[11] Abdul Mukti, 2008. op.ci.t, hlm.63-68.
[12]Ibid., hlm.55.
[13] Haidar Putra Daulay, 2009. Sejarah Pertumbuhan dan Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana, hlm. 51.
[14] Ibid., hlm.97.
[15] Abudin Nata, 2010. op.cit., hlm.33.
[16] Samsul Nizar dan Zainal Efendi Hasibuan, 2011. op.cit, hlm.23.
[17] Abudin Nata, 2010. op.cit., hlm.39.
[18] Samsul Nizar, 2009, op.cit., hlm.118.
[19] Abudin Nata, 2010. op.cit., hlm.34-35.
[20] Ibid., hlm.35.
[21] Ibid., hlm.36-37.
[22] Haidar Putra Daulay, 2009. op.cit., hlm.25.
[23] Ibid., hlm.39.
[24] Dedi Supriyadi,2008, Sejarah Peradaban Islam, Bandung; Pustaka Setia, hlm.136-137.
[25] Ibid., hlm.137
[26] Abudin Nata, 2010. op.cit., hlm.41.
[27] Ibid., hlm.42.
[28] Ramayulis, op.cit., hlm.57.

No comments:

Post a Comment