LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM
SEBELUM
MADRASAH
A. Munculnya Lembaga Pendidikan Islam Sebelum Madrasah
Pada
awalnya faktor yang mendorong munculnya lembaga-lembaga pendidikan Islam
adalah dakwah Islam, dan pengembangan
ilmu pengetahuan, kemudian berkembang menjadi faktor ekonomi dan politik.
Pelaksanaan dakwah Islam di Makkah dilakukan di rumah al-Arqam bin Abi
al-Arqam. Lalu pada periode Madinah didirikanlah masjid pertama sebagai tempat
ibadah dan tempat belajar agama Islam. Dengan bertambahnya jumlah kaum muslimin
maka bertambah pula jumlah lembaga pendidikan Islam. Kuttab/maktab yang sudah
ada pada masa sebelum Islam, dijadikan tempat anak-anak belajar baca tulis
al-Qur’an, sebelum melanjutkan pelajarannya ke tingkat menengah dan tinggi di
masjid.
Guru di kuttab/maktab
dan guru di masjid tidak digaji, melainkan mengajar dengan ikhlas demi dakwah
Islam dan ibadah. Namun sejak masa Daulah Umayyah, guru-guru yang mengajar di
istana digaji oleh khalifah. Kemudian pada masa dinasti Saljuq, terjadi persaingan
politik antara dinasti Saljuq (Sunni) dan dinasti Buwaihi (Syi’ah). Dinasti
Saljuq mendirikan madrasah Nizhamiyah yang menyebarkan faham Sunni untuk
membendung faham Syi’ah.[1]
B. Lembaga Pendidikan Islam Sebelum Madrasah
1. Kuttab/Maktab
Lembaga
pendidikan ini sudah ada sebelum kedatangan Islam.[2] Kuttab/maktab adalah
lembaga pendidikan dasar tempat belajar tulis menulis, kemudian pada masa Islam
lembaga ini berkembang menjadi lembaga pengajaran al-Quran dan ilmu agama
tingkat dasar.[3]
Karena merupakan lembaga pendidikan tingkat dasar, maka kuttab/maktab menerima siswa usia antara lima sampai tujuh tahun dan
menyelesaikan pendidikannya setelah berusia empat belas tahun.[4]
2. Rumah
Rumah
pertama yang dijadikan lembaga pendidikan Islam oleh Rasulullah saw. selain
rumah beliau sendiri adalah rumah al-Arqam bin Abi al- Arqam, dalam bahasa Arab rumah al-Arqam bin
Abi al-Arqam disebut darularqam. Di sinilah Rasulullah saw. menyampaikan dan
mengajarkan ajaran Islam dengan sistem pendidikan berbentuk halaqoh
selama tiga belas tahun.[5]
Karena masih pada periode Mekkah, maka materi
pelajaran adalah al-Qur’an, dasar-dasar tauhid dan akhlak.
Dengan
masuknya Umar bin khattab jumlah siswa darularqam berjumlah empat puluh
orang. Dengan masuknya Umar bin khattab, dakwah dilakukan dengan
terang-terangan. Pada tahun 171 H/ 787 M al-Khaizaran, sahaya al-Mahdi
al-Abbasi mengubah darularqam menjadi masjid. Pada tahun 1375 H/ 1955 M
mesjid ini dirubuhkan untuk perluassan tempat sa’i. Untuk mengenang tempat ini pintu pertama yang
digunakan untuk sa’i di dekat bukit Shafa diberi nama pintu darularqam.[6]
Selain
itu Rasulullah saw. juga menyarankan para sahabat yang sudah mendapat
pendidikan di darularqam, agar memberi pelajaran di rumah masing-masing
sebagai mana sabda beliau:
وَ قَالَ مَالِك بن الحُوَارِث
و َقَال لنَا النَّبِي صَلَّى الله عَلَيْهِ و َسَلَّم : اِرْجِعُوْا اِلَى اَهْلِيْكُمْ
فَعَلِّمُوْهُمْ (رواه البخاري)
Artinya: Malik bin
al-Huwarits berkata: Rasulullah saw bersabda kepada kami: Kembalilah
kepada keluargamu kemudian ajarilah mereka (HR. Bukhari).[7]
3. Masjid
Pada
masa awal Islam, lembaga pendidikan terdiri dari dua tingkat, yaitu tingkat
dasar (kuttab) dan tingkat pendalaman (mesjid).[8] Pada masa Rasulullah saw. tepatnya pada periode Madinah, mesjid
adalah pusat pendidikan, informasi, kegiatan sosial dan ekonomi. Menurut al-Baladzuri dan Ibnu Hasyim, mesjid yang
pertama kali dibangun adalah mesjid at-Taqwa di Quba, oleh para sahabat yang
lebih dahulu hijrah ke Madinah. Kemudian setelah Nabi saw. hijrah ke
Madinah, Beliau bersama-sama dengan para sahabat membangun mesjid al-Mirbad.[9]
Pada
perkembangan berikutnya, mesjid terbagi dua yaitu mesjid biasa (musolla)
dan mesjid jami’. Dalam mesjid jami’ diselenggarakan shalat Jum’at dan
dalam mesjid jami’ pula terdapat halaqoh-halaqoh, majlis-majlis dan
zawiyah-zawiyah.[10]
Seiring
dengan bertambahnya jumlah siswa dan berkembangnya kurikulum maka mesjid tidak
mampu lagi menampung halaqoh-halaqoh majlis-majlis dan zawiyah-zawiyah.
Lalu pada akhirnya beberapa mesjid bertranformasi menjadi madrasah atau jami’ah,
sehingga jenjang pendidikan menjadi bertambah yaitu: tingkat dasar (kuttab),
tingkat menengah (masjid) dan tingkat tinggi (madrasah/jami’ah).[11] Beberapa mesjid yang bertransformasi menjadi madrasah/jami’ah
antara lain; Jami’ ‘Amru bin al’Ash didirikan oleh Panglima ‘Amru bin al’Ash
(21 H/ 642 M), Jami’ al-‘Askar didirikan oleh Panglima Abu Ismail Ghamir (132 H/
749 M), Jami’ Ibnu Thulun didirikan oleh Sultan Ahmad bin Tulun (265 H/ 878 M),
Jami’ al-Azhar didirikan oleh Panglima Jauhar al-Siqili (360 H/ 974 H).[12]
Sedangkan
di Indonesia penggunaan kata madrasah adalah untuk pendidikan dasar dan
menengah. Di Indonesia perkataan madrasah sebagai nama dari sebuah lembaga
pendidikan Islam baru populer di awal abad ke dua puluh, yaitu dalam bentuk
pesantren, rangkang, dayah dan surau.[13]
Di antara ulama yang berjasa dalam menggagas tumbuhnya madrasah di Indonesia
antara lain Syekh Abdullah Ahmad, pendiri Madrasah Adabiyah di Padang tahun
1909, Syekh M. Thaib Umar mendirikan Madrasah School tahun 1910 di Batu
Sangkar tapi hanya berjalan tiga tahun
kemudian ditutup, lalu tahun 1918 dibuka kembali oleh Mahmud Yunus dan pada
tahun 1923 berganti nama dengan Diniyah School. Pada tahun 1915 Zainuddin Labai
al-Yunusi mendirikan Madrasah Diniyah di Padang Panjang. KH Ahmad Dahlan pada
tahun 1912 mendirikan organisasi Muhammadiyah yang membangun banyak sekolah.[14]
4. Shuffah
Shuffah
adalah lembaga pendidikan Islam
yang didirikan oleh Rasulullah saw.
di sebelah mesjid untuk orang yang tidak mampu. Lembaga ini pada awalnya untuk belajar
al-Qur’an, tapi kemudian berkembang
menjadi dasar-dasar berhitung, kedokteran, astronomi dan ilmu fonetik.
Ada sembilan shuffah yang tersebar di kota Madinah, salah satunya berlokasi di
samping mesjid Nabawi.[15]
Orang
yang tinggal di shuffah di sebut ahlussuffah dan mereka mendapat
perhatian yang lebih dari Rasulullah saw. Hadiah-hadiah yang diperoleh
oleh Rasulullah saw. diserahkan kepada ahlussuffah. Kegiatan ahlussuffah
selain belajar dan beribadah adalah membantu Rasulullah saw. di medan
perang.[16]
5. Khan
Khan adalah gudang penyimpanan barang dalam
jumlah yang besar, sebagai sarana komersial yang dimiliki oleh toko. Selain itu khan juga berfungsi sebagai asrama
bagi murid-murid dari luar daerah yang ingin belajar agama di mesjid. Di
samping fungsi tersebut di atas khan juga berfungsi senagai tempat belajar
privat. [17]
6. Salun
Salun
adalah lembaga pendidikan Islam yang
mengajarkan seni dan sastra. Menurut ‘Abd al-’Al, salun ada pada dinasti ‘Abasiyyah, tapi menurut Harun Nasution,
salun sudah ada pada dinasti Umayyah, dan berkembang dengan megah pada dinasti
‘Abbasiyyah.[18]
7. Halaqoh
Halaqoh
artinya lingkaran, yaitu murid-murid duduk di lantai melingkari gurunya. Kegiatan
halaqoh ini bisa terjadi di masjid atau di rumah-rumah. Sistem halaqoh tidak
mengenal sistem klasikal, semua umur dan jenjang berkumpul bersama untuk
mendengarkan penjelasan guru. Jadi tidak dibedakan antara usia dan jenjang
pendidikannya.[19]
8. Majlis
Istilah
majlis telah dipakai dalam pendidikan sejak abad pertama Islam. Misalnya, ia
merujuk pada arti tempat-tempat pelaksanaan belajar mengajar. Pada perkembangan
berikutnya di saat dunia pendidikan Islam mengalami zaman keemasan, majlis
berarti sesi di masa aktifitas pengajaran atau diskusi berlangsung dan
belakangan majlis diartikan sebagai sejumlah aktifitas pengajaran, sebagai
contoh, majlis al-Nabawi, artinya majlis yang dilaksanakan oleh nabi atau
majlis al-Syafi’i artinya majlis yang mengajarkan fiqih Imam Syafi’i.[20]
Beberapa
macam majlis antara lain: Majlis al-Hadits, yaitu majlis yang diselenggarakan
oleh ulama yang ahli hadits. Majlis al-Tadris, yaitu majlis yang mengadakan
pengajaran selain hadits seperti; majlis fiqh, majlis nahwu atau majlis kalam.
Majlis al-Munazarah, yaitu digunakan untuk perdebatan antar ulama. Majlis
a-Muzakarah yaitu majlis yang diselenggarakan oleh murid-murid majlis al-hadits
untuk mengulang pelajaran sambil menunggu kedatangan guru. Majlis al-Syu’ara,
yaitu majlis untuk belajar sya’ir. Majlis al-Adab yaitu majlis untuk belajar
sastra. Majlis al-Fatwa atau al-Nazar yaitu sarana pertemuan untuk mencari
keputusan suatu masalah di bidang hukum kemudian difatwakan, disebut al-Nazar
karena karakteristik majlis ini adalah perdebatan antara ulama fiqh/hukum
Islam. [21]
9. Zawiyah
Kata
Zawiyah pada mulanya merujuk kepada sudut dari suatu bangunan, dan sering
dikaitkan dengan mesjid. Di sudut mesjid tersebut terjadi proses pendidikan
antara si pendidik dan si terdidik. Selanjutnya zawiyah dikaitkan dengan
tarekat-tarekat sufi, di mana seorang syekh atau mursyid melakukan kegiatan
pendidikan kaun sufi.[22]
10. Ribath
Ribath
adalah tempat kegiatan kaum sufi yang ingin menjauhkan diri dari kehidupan
duniawi dan mengkonsentrasikan diri untuk ibadah semata-mata.[23] Ribath biasanya dihuni oleh sejumlah orang-orang miskin. Mereka
bersama-sama melakukan praktik-praktik sufistik. Disamping melakukan praktek
sufistik, mereka juga memberi perhatian kepada kegiatan keilmuwan.
11. Toko Buku &
Perpustakaan
Perpustakaan
dan Toko buku merupakan tempat di mana terdapat kumpulan-kumpulan atau koleksi
buku yang dapat dibaca-baca. Perpustakaan berkembang luas pada masa Abbasiyyah,
baik perpustakaan umum maupun perpustakaan pribadi. Faktor-faktor yang
menyebabkan perkembangan itu antara lain ialah meluasnya penggunaan kertas
untuk menyalin kitab-kitab, munculnya para penyalin kitab, dan berkembangnya
halaqoh para sastarawan dan ulama.
Di
Bashrah pada abad ke 10 Masehi, dibangun perpustakaan yang dijaga oleh para
sarjana yang digaji oleh pendiri perpustakaan. Di Syiraz oleh penguasa Buwaihi,
Adud ad-Dawlah (977-982 M) dibangun perpustakaan yang semua buku-bukunya
disusun di atas lemari-lemari, didaftar dalam katalog dan diatur dengan baik
oleh staf administrator yang berjaga segara bergiliran.[24]
Pada
tahun 891 M di ibukota kekhalifahan ‘Abbasiyyah terdapat lebih dari seratus
toko buku yang berderet di satu ruas jalan. Demikian juga di Damaskus dan
Kairo. [25]
12. Rumah Sakit
Rumah
sakit berfungsi sebagai tempat untuk merawat dan mengobati orang sakit, serta
sebagai tempat mendidik tenaga-tenaga yang berhubungan dengan perawatan dan
pengobatan. Pada masa klasik, penelitian dan percobaan dalam bidang kedokteran
dan obat-obatan juga telah dilaksanakan sehingga ilmu kedokteran dan obat-obatan
berkembang dengan pesat.[26]
13. Badiah
Badiah
adalah padang pasir, dusun tempat tinggalnya orang Badwi. Orang badwi yang
tinggal di badiah-badiah tetap mempertahankan keaslian dan kemurnian bahasa
Arab. Banyak anak-anak khalifah, ulama-ulama dan para ahli ilmu pengetahuan
pergi ke badiah-badiah dalam rangka mempelajari ilmu bahasa dan kesusasteraan
Arab. Dengan begitu badiah-badiah telah berfungsi sebagai lembaga pendidikan. [27]
C. Keadaan Lembaga Pendidikan Islam Sebelum Madrasah
Lembaga
pendidikan Islam sebelum madrasah masih sangat sederhana, namun seiring dengan
perkembangan zaman, lembaga pendidikan tersebut bertransformasi menjadi
madrasah. Menurut Ahmad Syalabi bahwa transformasi berawal dari masjid ke
madrasah. Sedangkan menurut George Makdisi, transformasi berawal dari masjid,
masjid-khan dan madrasah.
Lembaga
pendidikan Islam periode sebelum madrasah tidak mengenal sistem klasikal,
walaupun pada masa kejayaan pendidikan Islam yaitu pada masa daulah ‘Abbasiyyah
sudah ada yang menggunakan perabotan seperti kursi dan meja namun tingkatan pendidikan
Islam pada masa ini hanya menggunakan penggolongan tingkatan/level secara umum
yaitu; pendidikan Islam tingkat rendah, menengah dan tinggi.
Pendidikan Islam
tingkat rendah dilaksanakan di kuttab/maktab sedangkan tingkat menengah dan
tinggi diselenggarakan di masjid. Adapun yang membedakan antara tingkat
menengah dan tinggi adalah; pada tingkat menengah diampu oleh ulama yang tidak
terkenal, sedangkan pada tingkat tinggi diampu oleh ulama besar yang memiliki
pengetahuan yang mendalam dengan integritas kesalehan dan kealiman yang diakui
oleh masyarakat.
Lembaga
pendidikan Islam sebelum periode madrasah belum dikelola secara menyeluruh dan
profesional oleh pemerintah, tapi lebih banyak dikelola sendiri-sendiri oleh
pihak swasta atau ulama, sehingga lebih sulit untuk menentukan standar
kurikulum. Umumnya materi pembelajaran pada tingkat rendah adalah baca tulis
al-Qur’an, dan pengetahuan agama tingkat dasar seperti, aqidah-akhlak, ibadah,
dan muamalat. Sedangkan materi pembelajaran pada tingkat menengah dan tinggi
adalah; al-Qur’an beserta tafsirnya, al-Hadits beserta syarahnya serta ilmu
Fiqh.[28]
[1] Ramayulis,2012,
Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta; Kalam Mulia, hlm.140.
[2] Samsul Nizar,
2009. Sejarah Pendidikan Islam, Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era
Rasullullah Sampai Indonesia, Jakarta: Kencana, hlm.16.
[3] Abudin Nata,
2010. Sejarah Pendidikan Islam Pada Periode Klasik dan Pertengahan,
Jakarta: RajaGrafindo Persada, hlm.33.
[4] Abdul Mukti,
2008. Pembaharuan Lembaga Pendidikan di Mesir, Bandung: Citapustaka
Media Perintis, hlm.53.
[6] Muhammad Ilyas
abdul Ghani, 2003. Sejarah Kota Mekkah Klasik dan Modern, Jakarta: Akbar
Media Eka Sarana, hlm.53.
[7] Samsul Nizar
dan Zainal Efendi Hasibuan, 2011. Hadis Tarbawi, Bandung: Kalam Mulia,
hlm.24.
[8] Badri Yatim,
1993. Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: RajaGrafindo Persada, hlm.54.
[11] Abdul Mukti,
2008. op.ci.t, hlm.63-68.
[13] Haidar Putra
Daulay, 2009. Sejarah Pertumbuhan dan Pembaharuan Pendidikan Islam di
Indonesia, Jakarta: Kencana, hlm. 51.
[16] Samsul Nizar
dan Zainal Efendi Hasibuan, 2011. op.cit, hlm.23.
[22] Haidar Putra
Daulay, 2009. op.cit., hlm.25.
[23] Ibid.,
hlm.39.
[24] Dedi
Supriyadi,2008, Sejarah Peradaban Islam, Bandung; Pustaka Setia,
hlm.136-137.
[25] Ibid., hlm.137
[28] Ramayulis,
op.cit., hlm.57.
No comments:
Post a Comment