30 June 2016

PESANTREN MUSTHAFAWIYAH



A.    Sejarah Pesantren Musthafawiyah
Pesantren Musthafawiyah adalah Pesantren terbesar dan tertua di Provinsi Sumatera Utara. Pesantren ini berlokasi di desa Purbabaru kecamatan Lembah Sorikmarapi kabupaten Mandailing Natal. Kabupaten Mandailing Natal terletak pada 0°10' - 1°50' Lintang Utara dan 98°10' - 100°10' Bujur Timur ketinggian 0 - 2.145 m di atas permukaan laut. Luas wilayah Kabupaten Mandailing Natal ± 6.620,70 km2 atau 9,23 persen dari wilayah Sumatera Utara dengan batas-batas wilayah sebagai berikut :
1. Sebelah Utara : Kab.Tapanuli Selatan
2. Sebelah Selatan : Prop.Sumatera Barat
3. Sebelah Barat : Samudera Hindia
4. Sebelah Timur : Prop.Sumatera Barat
Iklim Kabupaten Mandailing Natal adalah berkisar antara 23 ºC - 32 ºC dengan kelembaban antara 80 – 85 %. Mata pencaharian mayoritas penduduk Mandailing Natal adalah petani. Masyarakat Mandailing Natal terdiri dari etnis Mandailing, Minang, Jawa, Batak, Nias, Melayu dan Aceh, namun etnis mayoritas adalah etnis Mandailing 80 %, etnis Melayu pesisir 7 % dan etnis Jawa 6 %. Etnis Mandailing sebahagian besar mendiami daerah Mandailing, sedangkan etnis Melayu dan Minang mendiami daerah Pantai Barat. Penganut agama Islam 80% sisanya 20% adalah penganut agama Kristen, Hindu dan Buddha.[1]
Mula-mula pesantren Musthafawiyah hanya berawal dari halaqoh-halaqoh kecil yang digagas pendirinya. Kemudian murid-murid alias pengikutnya terus bertambah mengelilingi tempat kediaman Sang Ulama, dan mendirikan gubug-gubug. Setiap murid mendirikan gubug sendiri dengan keterampilan tangan sendiri. Mereka membawa beras dari kampung dan memasaknya sendiri juga. Sang ulama besar itu, menyampaikan ilmu pengetahuan tentang Islam dengan maksud supaya murid-murid kelak akan jadi guru mengaji di kampung masing-masing.
Pesantren Musthafawiyah didirikan oleh Syaikh Musthafa pada tanggal 12 Nopember 1912. Syaikh Musthafa adalah anak ketiga dari sembilan bersaudara dari pasangan  Husain dan Halimah. Beliau lahir di desa Tano Bato kecamatan Lembah Sorikmarapi kabupaten Mandailing Natal provinsi Sumatera Utara pada tahun 1303 H/1886 M. Ayahandanya bernama Haji Husein adalah seorang pedagang yang sangat alim, waraq lagi taat. Pada tahun 1893, ketika beliau berumur tujuh tahun, iapun dimasukkan pada sekolah Gouvernement yang terkenal pada masa itu dengan sebutan "Sekolah Kelas Dua" Kayulaut. Sekolah Kelas Dua adalah sekolah yang diperuntukkan bagi rakyat biasa sedangkan sekolah Kelas Satu adalah sekolah untuk kaum bangsawan.[2]

Dengan kesungguhannya, akhirnya beliau dapat menyelesaikan pendidikan di sekolah tersebut sampai tamat. Melihat kerajinan dan kecerdasan muridnya yang luar biasa, gurunya yang bernama Sutan guru yang merupakan murid dari William Iskandar menyarankan kepada orang tuanya supaya beliau dilanjutkan  sekolahnya ke Bukittinggi. Harapan gurunya ini, tidak kesampaian karena darah agama yang kuat yang mengalir dari orang tuanya telah membawanya belajar pada seorang Syaikh yang bernama Syaikh Abdul Hamid di Hutapungkut yang hidup bersamaan dengan Syekh Sulaiman al-Kholidy.
Pada tahun 1900, setelah beberapa tahun belajar pada gurunya, iapun dianjurkan agar pergi menunaikan ibadah haji dan menuntut ilmu di Kota suci Mekkah. Atas bimbingan Syaikh Abdul Hamid inilah muncul semangat pada diri Syeikh Musthofa untuk memperdalam ilmu agamanya di Mekkah.
Setelah lima tahun di Mekkah beliau sempat berkeinginan untuk berpindah belajar ke al-Azhar Mesir, tetapi keinginan itu  diurungkan karena banyaknya orang-orang yang menasehatinya agar tetap dan istiqomah belajar di Mekkah. Beliaupun akhirnya mantap dan berkonsentrasi untuk terus belajar di Masjidil Harom dalam bimbingan ulama-ulama terkemuka. Di antaranya adalah, Syaikh Abdul Qodir al-Mandily, Syaikh Ahmad Sumbawa, Syaikh Sholeh Bafadlil, Syaikh Ali Maliki, Syaikh Umar Bajuned, Syaikh Ahmad Khothib Sambas, Syaikh Abdur Rahman, Syeikh Mukhtar Aththorid Al-Boghori, dan Syaikh Ahmad Khatib Al-Minkabawy.
Setelah 12 tahun belajar di Madrasah Shalawtiyah Mekkah, beliau kembali ke tanah air, beliau getol memperjuangkan Islam Ahlus sunnah wal Jama’ah madzhab Syafi’i dengan jalan berda’wah kepada masyarakat dan mendirikan pesantren sebagai tempat belajar anak-anak bangsa yang akhirnya pesantren tersebut dikenal dengan Pondok Pesantren  Musthofawiyah. Pada awalnya Pesantren ini berlokasi di Desa Tano Bato namun  pada tanggal 28 November 1915 sungai Aek Singolot meluap hingga menyebabkan banjir besar. Lalu pesantren dipindahkan ke desa tetangga yaitu desa Purbabaru kecamatan Lembah Sorik Marapi kabupaten Mandailing Natal.
Untuk menunjang aktifitas kelancaran proses kegiatan belajar mengajar, beliau telah membuat terobosan baru dengan membuka sebuah lahan perkebunan karet yang terletak di Aekgodang. Sehingga dana kelancaran proses belajar tidak hanya tertumpu pada iuran santrinya saja. Ketika terjadi masa-masa kritis di nusantara, sebagai sebuah pesantren yang telah berdiri kokoh maka pesantren ini tidak terpengaruh dalam aktifitas belajar mengajarnya. Melihat kegigihan dan keberhasilan beliau dalam mengembangkan pesantren ini, maka pemerintahan Kolonial Belanda pada tahun 1934 menganugerahinya suatu Bintang Perak dari Kerajaan Belanda.
Pada tahun 1947 Pesantren ini berafiliasi dengan Ormas Islam terbesar di Indonesia yaitu Nahdhotul Ulama. Syaikh Musthafa adalah orang pertama yang mendirikan NU di Provinsi Sumatera Utara. Pada tanggal 16 November 1955 Syaikh Musthafa meninggal dunia dengan mewariskan satu unit bangunan papan yang terdiri dari enam ruangan kelas dengan santri sejumlah 450 orang. Setelah Syaikh Musthafa meninggal dunia, maka kepemimpinan diteruskan oleh anak pertama beliau yaitu Syaikh Abdullah Bin Musthafa bin Husain Nasution, di bawah kepemimpinan beliau Pondok Musthafawiyah berkembang pesat, beliau juga pernah menuntut ilmu di Madrasah Shalawtiyah Makkah di Masjidil Harom, di antara guru beliau adalah Syaikh Qadhi Hasan Masaath Al-Makki, di antara teman beliau belajar semasa di Makkah adalah Syaikh Yasin Al-Fadani dan Syaikh Zakariya bin Abdullah  Batubara, Syaikh Muhammad Zainuddin Al-Ampenani, dan Syaikh Adnan Lubis.
Pada masa awal kepemimpinan beliau dibuka pendaftaran bagi santriwati,  lalu jumlah santri dan santriwati pun bertambah. Untuk itu Syaikh Abdullah membeli tanah di lokasi Kampung Tengah Desa Purbabaru dan membangun tiga ruang belajar darurat. Ruang belajar itu hanya berdinding bambu, beratap rumbia, dan berlantai tanah. Pada tahun 1960 dibangun satu unit bangunan yang terdiri dari 10 ruang belajar semi-permanen. Lalu Pada tahun 1962, dibangun lagi ruang belajar yang sumber dananya dari sumbangan para orang tua santri berupa sekeping papan dan selembar seng setiap orangnya ditambah dengan tabungan Syaikh Abdullah. Bangunan ini diresmikan oleh Jenderal Abdul Haris Nasution.
 Pada tahun 1991 M Syaikh Abdullah meninggal lalu pesantren dipimpin oleh Adinda beliau yang bernama Syaikh Abdul Khaliq selama 12 tahun. Kemudian pada tahun 2003 pesantren ini dipimpin oleh putra sulung almarhum Syaikh Abdullah yang bernama, Syaikh Bakri bin Abdullah bin Husain bin Umar Nasution. Saat ini Pesantren Musthafawiyah mendidik santri dan santriwati sejumlah 8525 orang. Adapun  jumlah tenaga pendidik dan kependidikan berjumlah 200 orang. Fasilitas pendidikan, antara lain; lima unit gedung belajar dengan masing-masing 16 ruang belajar yang terletak di empat lokasi yang sebagian dananya dari bantuan masyarakat dan Pemda Kabupaten Tapanuli Selatan dan Kabupaten Mandailing Natal, dua unit asrama putri berlantai dua dengan 20 kamar yang masing-masing dihuni sedikitnya 60 orang santriwati, dua unit berlantai satu, dengan 40 kamar, dua unit warung serba ada yang dikelola para santri, dua unit rumah pegawai, satu unit poliklinik dan sebagainya.

B.     Metode Pembelajaran pada Pesantren Musthafawiyah
Kegiatan belajar mengajar di Pondok Pesantren Musthafawiyah berlangsung setiap hari kecuali hari Selasa. Kegiatan belajar di kelas dimulai dari jam delapan pagi hingga jam setengah enam sore. Pondok Pesantren Musthafawiyah adalah pondok pesantren salafi. Kitab-kitab yang dipelajari di pesantren ini adalah Matnu Al-Jurmiyah, Matnu Ghayah Wa Taqrib, Hasyiyah al-Bajuri, Tafsir Jalalain, Hasyiyah Syarqawy Ala at-Tahrir, Bulughul Maram, Syarah Ibnu `Aqil, Kawakib Ad-Duriyyah, Matnu Arbain an-Nawawiyah, Hasyiyah Dusuki Ala Ummi al Barahin, Kifayatu `Awam, Hushnul Hamidiyyah dan lain-lain.
 Kurikulum Pesantren Mustafawiyah adalah 75% pelajaran agama dan 25% pelajaran umum. Pondok ini adalah pondok salafi, dari awal berdiri hingga sekarang pondok ini masih konsisten dengan sistem klasikal tujuh kelas. Kelas satu hingga kelas empat adalah tingkat tsanawiyah sedangkan kelas lima hingga kelas tujuh adalah tingkat aliyah. Ijazah Pesantren Musthafawiyah telah mendapat mu’adalah dari al-Azhar Mesir, Aligarh India, as-Shalawtiyyah Mekkah, serta perguruan tinggi Islam di Pakistan, India, Maroko, Suria, Yordania dan Libya. Alumni Pesantren Musthafawiyah banyak yang melanjutkan kuliah ke perguruan tinggi tersebut.
Para alumni Pesantren Musthafawiyah tidak melulu menggeluti bidang agama saja tapi ada juga di bidang militer seperti K.H. Zainul Arifin yang yang bergelar Pahlawan Nasional pernah menjadi sekretaris militer dan pernah menjadi wakil Perdana Menteri pada era Presiden Soekarno. Hingga kini di KODAM I/ Bukit Barisan ada beberapa alumni Pesantren Musthafawiyah yang berpangkat perwira.
Hal yang unik dari Pesantren Musthafawiyah adalah adanya gubug-gubug kayu ukuran 2x3 meter yang beratapkan rumbia dan berlantaikan tanah yang jumlahnya empat ribuan tempat para santri bermukim. Di gubug sederhana itulah para santri tinggal dengan penerangan lampu minyak tanpa listrik. Ketika musim libur lebaran gubug-gubug tersebut dibiarkan terbuka. Selain membangun sendiri gubugnya, mereka dapat membeli gubug bekas kakak kelas yang sudah menamatkan pendidikannya.
Luas kampus Pesantren Musthafawiyah hanya 10 hektar, 4 hektar untuk bangunan ruangan kelas, asrama guru dan asrama santriwati, sedangkan 6 hektar untuk gubug-gubug tempat santri tinggal. Gubug kayu ukuran 2x3 meter tersebut dibangun sendiri oleh santri di atas tanah pesantren, namun bila gubug tersebut dibangun di atas tanah penduduk maka dikenakan biaya sebesar 8 kilogram beras persemester.
Hubungan mutualisme antara santri dan warga sekitar pesantren juga terjadi ketika santri harus memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti beras, lauk-pauk, alat tulis, buku, dan lain-lain. Namun kebutuhan akan air minum dapat diperoleh dari sungai Batanggadis yang masih asri, yang berhulu di gunung vulkanik Sorikmarapi.   
Yang uniknya lagi dari Pesantren Musthafawiyah adalah justru santri putra memasak sendiri makanan mereka, sedangkan santriwati tinggal di gedung permanen dan disediakan makanannya oleh guru pembimbing asrama. Namun sekarang hanya disediakan nasi saja sedangkan lauk-pauknya tidak disediakan. Di asrama santriwati belajar keterampilan menjahit dan menyulam dengan gratis. Asrama dan uang makan 3x sehari juga gratis, tidak dibayar dengan uang tapi dibayar dengan 18 kilogram beras setiap bulan. Santri putra dan santri putri hanya dikenakan uang SPP sebesar Rp.10.000 sebulan.
Sebagai Pesantren Salafi, metode halaqoh, sorogan dan hafalan tetap dilakukan pada malam hari pada saat mudzakarah di Mesjid atau di asrama guru, misalnya pada mata pelajaran Hadits yang harus diterangkan oleh guru dan disetor hafalannya oleh santri kepada guru. Pesantren ini menerapkan prinsip al-muhafadzoh 'ala al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah. Penerapan prinsip Al-qadim al-shalih misalnya metode halaqoh, sorogan dan hafalan pada saat mudzkarah malam hari, sedangkan penerapan prinsip al-jadid al-ashlah misalnya sistem kelasikal pada pagi hingga sore hari.



[1] http://www.madina.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=1&Itemid3
[2] S.Nasution, Sejarah Pendidikan Indonesia, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), hlm. 61.

No comments:

Post a Comment