A. Sejarah Pesantren Musthafawiyah
Pesantren
Musthafawiyah adalah Pesantren terbesar dan tertua di Provinsi Sumatera Utara. Pesantren
ini berlokasi di desa Purbabaru kecamatan Lembah Sorikmarapi kabupaten
Mandailing Natal. Kabupaten Mandailing Natal terletak pada 0°10' - 1°50'
Lintang Utara dan 98°10' - 100°10' Bujur Timur ketinggian 0 - 2.145 m di atas
permukaan laut. Luas wilayah Kabupaten Mandailing Natal ± 6.620,70 km2 atau
9,23 persen dari wilayah Sumatera Utara dengan batas-batas wilayah sebagai
berikut :
1. Sebelah Utara : Kab.Tapanuli
Selatan
2. Sebelah Selatan : Prop.Sumatera
Barat
3. Sebelah Barat : Samudera Hindia
4. Sebelah Timur : Prop.Sumatera
Barat
Iklim Kabupaten
Mandailing Natal adalah berkisar antara 23 ºC - 32 ºC dengan kelembaban antara
80 – 85 %. Mata pencaharian mayoritas penduduk Mandailing Natal adalah petani. Masyarakat
Mandailing Natal terdiri dari etnis Mandailing, Minang, Jawa, Batak, Nias,
Melayu dan Aceh, namun etnis mayoritas adalah etnis Mandailing 80 %, etnis Melayu
pesisir 7 % dan etnis Jawa 6 %. Etnis Mandailing sebahagian besar mendiami daerah
Mandailing, sedangkan etnis Melayu dan Minang mendiami daerah Pantai Barat.
Penganut agama Islam 80% sisanya 20% adalah penganut agama Kristen, Hindu dan
Buddha.[1]
Mula-mula
pesantren Musthafawiyah hanya berawal dari halaqoh-halaqoh kecil yang
digagas pendirinya. Kemudian murid-murid alias pengikutnya terus bertambah
mengelilingi tempat kediaman Sang Ulama, dan mendirikan gubug-gubug. Setiap
murid mendirikan gubug sendiri dengan keterampilan tangan sendiri. Mereka
membawa beras dari kampung dan memasaknya sendiri juga. Sang ulama besar itu,
menyampaikan ilmu pengetahuan tentang Islam dengan maksud supaya murid-murid
kelak akan jadi guru mengaji di kampung masing-masing.
Pesantren
Musthafawiyah didirikan oleh Syaikh Musthafa pada tanggal 12 Nopember 1912. Syaikh
Musthafa adalah anak ketiga dari sembilan bersaudara dari pasangan Husain
dan Halimah. Beliau lahir di desa Tano Bato kecamatan Lembah Sorikmarapi
kabupaten Mandailing Natal provinsi Sumatera Utara pada tahun 1303 H/1886 M. Ayahandanya bernama Haji Husein
adalah seorang pedagang yang sangat alim, waraq lagi taat. Pada tahun
1893, ketika beliau berumur tujuh tahun, iapun dimasukkan pada sekolah Gouvernement
yang terkenal pada masa itu dengan sebutan "Sekolah Kelas Dua" Kayulaut.
Sekolah Kelas Dua adalah sekolah yang diperuntukkan bagi rakyat biasa sedangkan
sekolah Kelas Satu adalah sekolah untuk kaum bangsawan.[2]
Dengan kesungguhannya, akhirnya beliau dapat menyelesaikan
pendidikan di sekolah tersebut sampai tamat. Melihat kerajinan dan kecerdasan
muridnya yang luar biasa, gurunya yang bernama Sutan guru yang merupakan murid
dari William Iskandar menyarankan kepada orang tuanya supaya beliau dilanjutkan
sekolahnya ke Bukittinggi. Harapan gurunya ini, tidak kesampaian karena
darah agama yang kuat yang mengalir dari orang tuanya telah membawanya belajar
pada seorang Syaikh yang bernama Syaikh Abdul Hamid di Hutapungkut yang
hidup bersamaan dengan Syekh Sulaiman al-Kholidy.
Pada tahun 1900, setelah beberapa tahun belajar pada
gurunya, iapun dianjurkan agar pergi menunaikan ibadah haji dan menuntut ilmu
di Kota suci Mekkah. Atas bimbingan Syaikh Abdul Hamid
inilah muncul semangat pada diri Syeikh Musthofa untuk memperdalam ilmu
agamanya di Mekkah.
Setelah
lima tahun di Mekkah beliau sempat berkeinginan untuk berpindah belajar ke al-Azhar
Mesir, tetapi keinginan itu diurungkan
karena banyaknya orang-orang yang menasehatinya agar tetap dan istiqomah
belajar di Mekkah. Beliaupun akhirnya mantap dan berkonsentrasi untuk terus
belajar di Masjidil Harom dalam bimbingan ulama-ulama terkemuka. Di antaranya
adalah, Syaikh Abdul Qodir al-Mandily, Syaikh Ahmad Sumbawa, Syaikh Sholeh
Bafadlil, Syaikh Ali Maliki, Syaikh Umar Bajuned, Syaikh Ahmad Khothib Sambas,
Syaikh Abdur Rahman, Syeikh Mukhtar Aththorid Al-Boghori, dan Syaikh Ahmad
Khatib Al-Minkabawy.
Setelah
12 tahun belajar di Madrasah Shalawtiyah Mekkah, beliau kembali ke tanah air,
beliau getol memperjuangkan Islam Ahlus sunnah wal Jama’ah madzhab Syafi’i
dengan jalan berda’wah kepada masyarakat dan mendirikan pesantren sebagai
tempat belajar anak-anak bangsa yang akhirnya pesantren tersebut dikenal dengan
Pondok Pesantren Musthofawiyah. Pada awalnya Pesantren ini berlokasi di
Desa Tano Bato namun pada tanggal 28
November 1915 sungai Aek Singolot meluap hingga menyebabkan banjir besar. Lalu pesantren
dipindahkan ke desa tetangga yaitu desa Purbabaru kecamatan Lembah Sorik Marapi
kabupaten Mandailing Natal.
Untuk menunjang aktifitas kelancaran proses kegiatan belajar
mengajar, beliau telah membuat terobosan baru dengan membuka sebuah lahan
perkebunan karet yang terletak di Aekgodang. Sehingga dana kelancaran proses
belajar tidak hanya tertumpu pada iuran santrinya saja. Ketika terjadi
masa-masa kritis di nusantara, sebagai sebuah pesantren yang telah berdiri
kokoh maka pesantren ini tidak terpengaruh dalam aktifitas belajar mengajarnya.
Melihat kegigihan dan keberhasilan beliau dalam mengembangkan pesantren ini, maka
pemerintahan Kolonial Belanda pada tahun 1934 menganugerahinya suatu Bintang
Perak dari Kerajaan Belanda.
Pada tahun 1947
Pesantren ini berafiliasi dengan Ormas Islam terbesar di Indonesia yaitu Nahdhotul
Ulama. Syaikh Musthafa adalah orang pertama yang mendirikan NU di Provinsi
Sumatera Utara. Pada tanggal 16 November 1955 Syaikh Musthafa meninggal dunia
dengan mewariskan satu unit bangunan papan yang terdiri dari enam ruangan kelas
dengan santri sejumlah 450 orang. Setelah Syaikh Musthafa meninggal dunia, maka
kepemimpinan diteruskan oleh anak pertama beliau yaitu Syaikh Abdullah Bin
Musthafa bin Husain Nasution, di bawah kepemimpinan beliau Pondok Musthafawiyah
berkembang pesat, beliau juga pernah menuntut ilmu di Madrasah Shalawtiyah Makkah
di Masjidil Harom, di antara guru beliau adalah Syaikh Qadhi Hasan Masaath
Al-Makki, di antara teman beliau belajar semasa di Makkah adalah Syaikh Yasin
Al-Fadani dan Syaikh Zakariya bin Abdullah
Batubara, Syaikh Muhammad Zainuddin Al-Ampenani, dan Syaikh Adnan Lubis.
Pada masa awal
kepemimpinan beliau dibuka pendaftaran bagi santriwati, lalu jumlah santri dan santriwati pun
bertambah. Untuk itu Syaikh Abdullah membeli tanah di lokasi Kampung Tengah Desa
Purbabaru dan membangun tiga ruang belajar darurat. Ruang belajar itu hanya
berdinding bambu, beratap rumbia, dan berlantai tanah. Pada tahun 1960 dibangun
satu unit bangunan yang terdiri dari 10 ruang belajar semi-permanen. Lalu Pada
tahun 1962, dibangun lagi ruang belajar yang sumber dananya dari sumbangan para
orang tua santri berupa sekeping papan dan selembar seng setiap orangnya
ditambah dengan tabungan Syaikh Abdullah. Bangunan ini diresmikan oleh Jenderal
Abdul Haris Nasution.
Pada tahun 1991 M Syaikh Abdullah meninggal
lalu pesantren dipimpin oleh Adinda beliau yang bernama Syaikh Abdul Khaliq
selama 12 tahun. Kemudian pada tahun 2003 pesantren ini dipimpin oleh putra
sulung almarhum Syaikh Abdullah yang bernama, Syaikh Bakri bin Abdullah bin
Husain bin Umar Nasution. Saat ini Pesantren Musthafawiyah mendidik santri dan
santriwati sejumlah 8525 orang. Adapun jumlah
tenaga pendidik dan kependidikan berjumlah 200 orang. Fasilitas pendidikan,
antara lain; lima unit gedung belajar dengan masing-masing 16 ruang belajar
yang terletak di empat lokasi yang sebagian dananya dari bantuan masyarakat dan
Pemda Kabupaten Tapanuli Selatan dan Kabupaten Mandailing Natal, dua unit
asrama putri berlantai dua dengan 20 kamar yang masing-masing dihuni sedikitnya
60 orang santriwati, dua unit berlantai satu, dengan 40 kamar, dua unit warung
serba ada yang dikelola para santri, dua unit rumah pegawai, satu unit
poliklinik dan sebagainya.
B.
Metode
Pembelajaran pada Pesantren Musthafawiyah
Kegiatan belajar
mengajar di Pondok Pesantren Musthafawiyah berlangsung setiap hari kecuali hari
Selasa. Kegiatan belajar di kelas dimulai dari jam delapan pagi hingga jam
setengah enam sore. Pondok Pesantren Musthafawiyah adalah pondok pesantren
salafi. Kitab-kitab yang dipelajari di pesantren ini adalah Matnu Al-Jurmiyah,
Matnu Ghayah Wa Taqrib, Hasyiyah al-Bajuri, Tafsir Jalalain, Hasyiyah Syarqawy
Ala at-Tahrir, Bulughul Maram, Syarah Ibnu `Aqil, Kawakib Ad-Duriyyah, Matnu
Arbain an-Nawawiyah, Hasyiyah Dusuki Ala Ummi al Barahin, Kifayatu `Awam,
Hushnul Hamidiyyah dan lain-lain.
Kurikulum Pesantren Mustafawiyah adalah 75%
pelajaran agama dan 25% pelajaran umum. Pondok ini adalah pondok salafi, dari
awal berdiri hingga sekarang pondok ini masih konsisten dengan sistem klasikal
tujuh kelas. Kelas satu hingga kelas empat adalah tingkat tsanawiyah sedangkan
kelas lima hingga kelas tujuh adalah tingkat aliyah. Ijazah Pesantren
Musthafawiyah telah mendapat mu’adalah dari al-Azhar Mesir, Aligarh
India, as-Shalawtiyyah Mekkah, serta perguruan tinggi Islam di Pakistan,
India, Maroko, Suria, Yordania dan Libya. Alumni Pesantren Musthafawiyah banyak
yang melanjutkan kuliah ke perguruan tinggi tersebut.
Para alumni
Pesantren Musthafawiyah tidak melulu menggeluti bidang agama saja tapi ada juga
di bidang militer seperti K.H. Zainul Arifin yang yang bergelar Pahlawan
Nasional pernah menjadi sekretaris militer dan pernah menjadi wakil Perdana
Menteri pada era Presiden Soekarno. Hingga kini di KODAM I/ Bukit Barisan ada
beberapa alumni Pesantren Musthafawiyah yang berpangkat perwira.
Hal yang unik
dari Pesantren Musthafawiyah adalah adanya gubug-gubug kayu ukuran 2x3 meter
yang beratapkan rumbia dan berlantaikan tanah yang jumlahnya empat ribuan
tempat para santri bermukim. Di gubug sederhana itulah para santri tinggal dengan
penerangan lampu minyak tanpa listrik. Ketika musim libur lebaran gubug-gubug
tersebut dibiarkan terbuka. Selain membangun sendiri gubugnya, mereka dapat
membeli gubug bekas kakak kelas yang sudah menamatkan pendidikannya.
Luas kampus
Pesantren Musthafawiyah hanya 10 hektar, 4 hektar untuk bangunan ruangan kelas,
asrama guru dan asrama santriwati, sedangkan 6 hektar untuk gubug-gubug tempat
santri tinggal. Gubug kayu ukuran 2x3 meter tersebut dibangun sendiri oleh
santri di atas tanah pesantren, namun bila gubug tersebut dibangun di atas
tanah penduduk maka dikenakan biaya sebesar 8 kilogram beras persemester.
Hubungan
mutualisme antara santri dan warga sekitar pesantren juga terjadi ketika santri
harus memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti beras, lauk-pauk, alat tulis,
buku, dan lain-lain. Namun kebutuhan akan air minum dapat diperoleh dari sungai
Batanggadis yang masih asri, yang berhulu di gunung vulkanik Sorikmarapi.
Yang uniknya
lagi dari Pesantren Musthafawiyah adalah justru santri putra memasak sendiri
makanan mereka, sedangkan santriwati tinggal di gedung permanen dan disediakan
makanannya oleh guru pembimbing asrama. Namun sekarang hanya disediakan nasi
saja sedangkan lauk-pauknya tidak disediakan. Di asrama santriwati belajar
keterampilan menjahit dan menyulam dengan gratis. Asrama dan uang makan 3x
sehari juga gratis, tidak dibayar dengan uang tapi dibayar dengan 18 kilogram
beras setiap bulan. Santri putra dan santri putri hanya dikenakan uang SPP
sebesar Rp.10.000 sebulan.
Sebagai
Pesantren Salafi, metode halaqoh, sorogan dan hafalan tetap dilakukan
pada malam hari pada saat mudzakarah di Mesjid atau di asrama guru,
misalnya pada mata pelajaran Hadits yang harus diterangkan oleh guru dan disetor hafalannya oleh
santri kepada guru. Pesantren ini menerapkan prinsip al-muhafadzoh 'ala
al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah. Penerapan prinsip Al-qadim
al-shalih misalnya metode halaqoh, sorogan dan hafalan pada saat
mudzkarah malam hari, sedangkan penerapan prinsip al-jadid al-ashlah
misalnya sistem kelasikal pada pagi hingga sore hari.