30 June 2016

PESANTREN MUSTHAFAWIYAH



A.    Sejarah Pesantren Musthafawiyah
Pesantren Musthafawiyah adalah Pesantren terbesar dan tertua di Provinsi Sumatera Utara. Pesantren ini berlokasi di desa Purbabaru kecamatan Lembah Sorikmarapi kabupaten Mandailing Natal. Kabupaten Mandailing Natal terletak pada 0°10' - 1°50' Lintang Utara dan 98°10' - 100°10' Bujur Timur ketinggian 0 - 2.145 m di atas permukaan laut. Luas wilayah Kabupaten Mandailing Natal ± 6.620,70 km2 atau 9,23 persen dari wilayah Sumatera Utara dengan batas-batas wilayah sebagai berikut :
1. Sebelah Utara : Kab.Tapanuli Selatan
2. Sebelah Selatan : Prop.Sumatera Barat
3. Sebelah Barat : Samudera Hindia
4. Sebelah Timur : Prop.Sumatera Barat
Iklim Kabupaten Mandailing Natal adalah berkisar antara 23 ºC - 32 ºC dengan kelembaban antara 80 – 85 %. Mata pencaharian mayoritas penduduk Mandailing Natal adalah petani. Masyarakat Mandailing Natal terdiri dari etnis Mandailing, Minang, Jawa, Batak, Nias, Melayu dan Aceh, namun etnis mayoritas adalah etnis Mandailing 80 %, etnis Melayu pesisir 7 % dan etnis Jawa 6 %. Etnis Mandailing sebahagian besar mendiami daerah Mandailing, sedangkan etnis Melayu dan Minang mendiami daerah Pantai Barat. Penganut agama Islam 80% sisanya 20% adalah penganut agama Kristen, Hindu dan Buddha.[1]
Mula-mula pesantren Musthafawiyah hanya berawal dari halaqoh-halaqoh kecil yang digagas pendirinya. Kemudian murid-murid alias pengikutnya terus bertambah mengelilingi tempat kediaman Sang Ulama, dan mendirikan gubug-gubug. Setiap murid mendirikan gubug sendiri dengan keterampilan tangan sendiri. Mereka membawa beras dari kampung dan memasaknya sendiri juga. Sang ulama besar itu, menyampaikan ilmu pengetahuan tentang Islam dengan maksud supaya murid-murid kelak akan jadi guru mengaji di kampung masing-masing.
Pesantren Musthafawiyah didirikan oleh Syaikh Musthafa pada tanggal 12 Nopember 1912. Syaikh Musthafa adalah anak ketiga dari sembilan bersaudara dari pasangan  Husain dan Halimah. Beliau lahir di desa Tano Bato kecamatan Lembah Sorikmarapi kabupaten Mandailing Natal provinsi Sumatera Utara pada tahun 1303 H/1886 M. Ayahandanya bernama Haji Husein adalah seorang pedagang yang sangat alim, waraq lagi taat. Pada tahun 1893, ketika beliau berumur tujuh tahun, iapun dimasukkan pada sekolah Gouvernement yang terkenal pada masa itu dengan sebutan "Sekolah Kelas Dua" Kayulaut. Sekolah Kelas Dua adalah sekolah yang diperuntukkan bagi rakyat biasa sedangkan sekolah Kelas Satu adalah sekolah untuk kaum bangsawan.[2]

Dengan kesungguhannya, akhirnya beliau dapat menyelesaikan pendidikan di sekolah tersebut sampai tamat. Melihat kerajinan dan kecerdasan muridnya yang luar biasa, gurunya yang bernama Sutan guru yang merupakan murid dari William Iskandar menyarankan kepada orang tuanya supaya beliau dilanjutkan  sekolahnya ke Bukittinggi. Harapan gurunya ini, tidak kesampaian karena darah agama yang kuat yang mengalir dari orang tuanya telah membawanya belajar pada seorang Syaikh yang bernama Syaikh Abdul Hamid di Hutapungkut yang hidup bersamaan dengan Syekh Sulaiman al-Kholidy.
Pada tahun 1900, setelah beberapa tahun belajar pada gurunya, iapun dianjurkan agar pergi menunaikan ibadah haji dan menuntut ilmu di Kota suci Mekkah. Atas bimbingan Syaikh Abdul Hamid inilah muncul semangat pada diri Syeikh Musthofa untuk memperdalam ilmu agamanya di Mekkah.
Setelah lima tahun di Mekkah beliau sempat berkeinginan untuk berpindah belajar ke al-Azhar Mesir, tetapi keinginan itu  diurungkan karena banyaknya orang-orang yang menasehatinya agar tetap dan istiqomah belajar di Mekkah. Beliaupun akhirnya mantap dan berkonsentrasi untuk terus belajar di Masjidil Harom dalam bimbingan ulama-ulama terkemuka. Di antaranya adalah, Syaikh Abdul Qodir al-Mandily, Syaikh Ahmad Sumbawa, Syaikh Sholeh Bafadlil, Syaikh Ali Maliki, Syaikh Umar Bajuned, Syaikh Ahmad Khothib Sambas, Syaikh Abdur Rahman, Syeikh Mukhtar Aththorid Al-Boghori, dan Syaikh Ahmad Khatib Al-Minkabawy.
Setelah 12 tahun belajar di Madrasah Shalawtiyah Mekkah, beliau kembali ke tanah air, beliau getol memperjuangkan Islam Ahlus sunnah wal Jama’ah madzhab Syafi’i dengan jalan berda’wah kepada masyarakat dan mendirikan pesantren sebagai tempat belajar anak-anak bangsa yang akhirnya pesantren tersebut dikenal dengan Pondok Pesantren  Musthofawiyah. Pada awalnya Pesantren ini berlokasi di Desa Tano Bato namun  pada tanggal 28 November 1915 sungai Aek Singolot meluap hingga menyebabkan banjir besar. Lalu pesantren dipindahkan ke desa tetangga yaitu desa Purbabaru kecamatan Lembah Sorik Marapi kabupaten Mandailing Natal.
Untuk menunjang aktifitas kelancaran proses kegiatan belajar mengajar, beliau telah membuat terobosan baru dengan membuka sebuah lahan perkebunan karet yang terletak di Aekgodang. Sehingga dana kelancaran proses belajar tidak hanya tertumpu pada iuran santrinya saja. Ketika terjadi masa-masa kritis di nusantara, sebagai sebuah pesantren yang telah berdiri kokoh maka pesantren ini tidak terpengaruh dalam aktifitas belajar mengajarnya. Melihat kegigihan dan keberhasilan beliau dalam mengembangkan pesantren ini, maka pemerintahan Kolonial Belanda pada tahun 1934 menganugerahinya suatu Bintang Perak dari Kerajaan Belanda.
Pada tahun 1947 Pesantren ini berafiliasi dengan Ormas Islam terbesar di Indonesia yaitu Nahdhotul Ulama. Syaikh Musthafa adalah orang pertama yang mendirikan NU di Provinsi Sumatera Utara. Pada tanggal 16 November 1955 Syaikh Musthafa meninggal dunia dengan mewariskan satu unit bangunan papan yang terdiri dari enam ruangan kelas dengan santri sejumlah 450 orang. Setelah Syaikh Musthafa meninggal dunia, maka kepemimpinan diteruskan oleh anak pertama beliau yaitu Syaikh Abdullah Bin Musthafa bin Husain Nasution, di bawah kepemimpinan beliau Pondok Musthafawiyah berkembang pesat, beliau juga pernah menuntut ilmu di Madrasah Shalawtiyah Makkah di Masjidil Harom, di antara guru beliau adalah Syaikh Qadhi Hasan Masaath Al-Makki, di antara teman beliau belajar semasa di Makkah adalah Syaikh Yasin Al-Fadani dan Syaikh Zakariya bin Abdullah  Batubara, Syaikh Muhammad Zainuddin Al-Ampenani, dan Syaikh Adnan Lubis.
Pada masa awal kepemimpinan beliau dibuka pendaftaran bagi santriwati,  lalu jumlah santri dan santriwati pun bertambah. Untuk itu Syaikh Abdullah membeli tanah di lokasi Kampung Tengah Desa Purbabaru dan membangun tiga ruang belajar darurat. Ruang belajar itu hanya berdinding bambu, beratap rumbia, dan berlantai tanah. Pada tahun 1960 dibangun satu unit bangunan yang terdiri dari 10 ruang belajar semi-permanen. Lalu Pada tahun 1962, dibangun lagi ruang belajar yang sumber dananya dari sumbangan para orang tua santri berupa sekeping papan dan selembar seng setiap orangnya ditambah dengan tabungan Syaikh Abdullah. Bangunan ini diresmikan oleh Jenderal Abdul Haris Nasution.
 Pada tahun 1991 M Syaikh Abdullah meninggal lalu pesantren dipimpin oleh Adinda beliau yang bernama Syaikh Abdul Khaliq selama 12 tahun. Kemudian pada tahun 2003 pesantren ini dipimpin oleh putra sulung almarhum Syaikh Abdullah yang bernama, Syaikh Bakri bin Abdullah bin Husain bin Umar Nasution. Saat ini Pesantren Musthafawiyah mendidik santri dan santriwati sejumlah 8525 orang. Adapun  jumlah tenaga pendidik dan kependidikan berjumlah 200 orang. Fasilitas pendidikan, antara lain; lima unit gedung belajar dengan masing-masing 16 ruang belajar yang terletak di empat lokasi yang sebagian dananya dari bantuan masyarakat dan Pemda Kabupaten Tapanuli Selatan dan Kabupaten Mandailing Natal, dua unit asrama putri berlantai dua dengan 20 kamar yang masing-masing dihuni sedikitnya 60 orang santriwati, dua unit berlantai satu, dengan 40 kamar, dua unit warung serba ada yang dikelola para santri, dua unit rumah pegawai, satu unit poliklinik dan sebagainya.

B.     Metode Pembelajaran pada Pesantren Musthafawiyah
Kegiatan belajar mengajar di Pondok Pesantren Musthafawiyah berlangsung setiap hari kecuali hari Selasa. Kegiatan belajar di kelas dimulai dari jam delapan pagi hingga jam setengah enam sore. Pondok Pesantren Musthafawiyah adalah pondok pesantren salafi. Kitab-kitab yang dipelajari di pesantren ini adalah Matnu Al-Jurmiyah, Matnu Ghayah Wa Taqrib, Hasyiyah al-Bajuri, Tafsir Jalalain, Hasyiyah Syarqawy Ala at-Tahrir, Bulughul Maram, Syarah Ibnu `Aqil, Kawakib Ad-Duriyyah, Matnu Arbain an-Nawawiyah, Hasyiyah Dusuki Ala Ummi al Barahin, Kifayatu `Awam, Hushnul Hamidiyyah dan lain-lain.
 Kurikulum Pesantren Mustafawiyah adalah 75% pelajaran agama dan 25% pelajaran umum. Pondok ini adalah pondok salafi, dari awal berdiri hingga sekarang pondok ini masih konsisten dengan sistem klasikal tujuh kelas. Kelas satu hingga kelas empat adalah tingkat tsanawiyah sedangkan kelas lima hingga kelas tujuh adalah tingkat aliyah. Ijazah Pesantren Musthafawiyah telah mendapat mu’adalah dari al-Azhar Mesir, Aligarh India, as-Shalawtiyyah Mekkah, serta perguruan tinggi Islam di Pakistan, India, Maroko, Suria, Yordania dan Libya. Alumni Pesantren Musthafawiyah banyak yang melanjutkan kuliah ke perguruan tinggi tersebut.
Para alumni Pesantren Musthafawiyah tidak melulu menggeluti bidang agama saja tapi ada juga di bidang militer seperti K.H. Zainul Arifin yang yang bergelar Pahlawan Nasional pernah menjadi sekretaris militer dan pernah menjadi wakil Perdana Menteri pada era Presiden Soekarno. Hingga kini di KODAM I/ Bukit Barisan ada beberapa alumni Pesantren Musthafawiyah yang berpangkat perwira.
Hal yang unik dari Pesantren Musthafawiyah adalah adanya gubug-gubug kayu ukuran 2x3 meter yang beratapkan rumbia dan berlantaikan tanah yang jumlahnya empat ribuan tempat para santri bermukim. Di gubug sederhana itulah para santri tinggal dengan penerangan lampu minyak tanpa listrik. Ketika musim libur lebaran gubug-gubug tersebut dibiarkan terbuka. Selain membangun sendiri gubugnya, mereka dapat membeli gubug bekas kakak kelas yang sudah menamatkan pendidikannya.
Luas kampus Pesantren Musthafawiyah hanya 10 hektar, 4 hektar untuk bangunan ruangan kelas, asrama guru dan asrama santriwati, sedangkan 6 hektar untuk gubug-gubug tempat santri tinggal. Gubug kayu ukuran 2x3 meter tersebut dibangun sendiri oleh santri di atas tanah pesantren, namun bila gubug tersebut dibangun di atas tanah penduduk maka dikenakan biaya sebesar 8 kilogram beras persemester.
Hubungan mutualisme antara santri dan warga sekitar pesantren juga terjadi ketika santri harus memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti beras, lauk-pauk, alat tulis, buku, dan lain-lain. Namun kebutuhan akan air minum dapat diperoleh dari sungai Batanggadis yang masih asri, yang berhulu di gunung vulkanik Sorikmarapi.   
Yang uniknya lagi dari Pesantren Musthafawiyah adalah justru santri putra memasak sendiri makanan mereka, sedangkan santriwati tinggal di gedung permanen dan disediakan makanannya oleh guru pembimbing asrama. Namun sekarang hanya disediakan nasi saja sedangkan lauk-pauknya tidak disediakan. Di asrama santriwati belajar keterampilan menjahit dan menyulam dengan gratis. Asrama dan uang makan 3x sehari juga gratis, tidak dibayar dengan uang tapi dibayar dengan 18 kilogram beras setiap bulan. Santri putra dan santri putri hanya dikenakan uang SPP sebesar Rp.10.000 sebulan.
Sebagai Pesantren Salafi, metode halaqoh, sorogan dan hafalan tetap dilakukan pada malam hari pada saat mudzakarah di Mesjid atau di asrama guru, misalnya pada mata pelajaran Hadits yang harus diterangkan oleh guru dan disetor hafalannya oleh santri kepada guru. Pesantren ini menerapkan prinsip al-muhafadzoh 'ala al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah. Penerapan prinsip Al-qadim al-shalih misalnya metode halaqoh, sorogan dan hafalan pada saat mudzkarah malam hari, sedangkan penerapan prinsip al-jadid al-ashlah misalnya sistem kelasikal pada pagi hingga sore hari.



[1] http://www.madina.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=1&Itemid3
[2] S.Nasution, Sejarah Pendidikan Indonesia, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), hlm. 61.

29 June 2016

LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM SEBELUM MADRASAH


LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM SEBELUM
MADRASAH


A. Munculnya Lembaga Pendidikan Islam Sebelum Madrasah
Pada awalnya faktor yang mendorong munculnya lembaga-lembaga pendidikan Islam adalah  dakwah Islam, dan pengembangan ilmu pengetahuan, kemudian berkembang menjadi faktor ekonomi dan politik. Pelaksanaan dakwah Islam di Makkah dilakukan di rumah al-Arqam bin Abi al-Arqam. Lalu pada periode Madinah didirikanlah masjid pertama sebagai tempat ibadah dan tempat belajar agama Islam. Dengan bertambahnya jumlah kaum muslimin maka bertambah pula jumlah lembaga pendidikan Islam. Kuttab/maktab yang sudah ada pada masa sebelum Islam, dijadikan tempat anak-anak belajar baca tulis al-Qur’an, sebelum melanjutkan pelajarannya ke tingkat menengah dan tinggi di masjid.
Guru di kuttab/maktab dan guru di masjid tidak digaji, melainkan mengajar dengan ikhlas demi dakwah Islam dan ibadah. Namun sejak masa Daulah Umayyah, guru-guru yang mengajar di istana digaji oleh khalifah. Kemudian pada masa dinasti Saljuq, terjadi persaingan politik antara dinasti Saljuq (Sunni) dan dinasti Buwaihi (Syi’ah). Dinasti Saljuq mendirikan madrasah Nizhamiyah yang menyebarkan faham Sunni untuk membendung faham Syi’ah.[1]
    

B. Lembaga Pendidikan Islam Sebelum Madrasah

1. Kuttab/Maktab
Lembaga pendidikan ini sudah ada sebelum kedatangan Islam.[2]  Kuttab/maktab adalah lembaga pendidikan dasar tempat belajar tulis menulis, kemudian pada masa Islam lembaga ini berkembang menjadi lembaga pengajaran al-Quran dan ilmu agama tingkat dasar.[3] Karena merupakan lembaga pendidikan tingkat dasar, maka kuttab/maktab menerima siswa usia antara lima sampai tujuh tahun dan menyelesaikan pendidikannya setelah berusia empat belas tahun.[4]

2. Rumah
Rumah pertama yang dijadikan lembaga pendidikan Islam oleh Rasulullah saw. selain rumah beliau sendiri adalah rumah al-Arqam bin Abi al-  Arqam, dalam bahasa Arab rumah al-Arqam bin Abi al-Arqam disebut darularqam. Di sinilah  Rasulullah saw. menyampaikan dan mengajarkan ajaran Islam dengan sistem pendidikan berbentuk halaqoh selama tiga belas tahun.[5] Karena masih pada periode Mekkah, maka materi pelajaran adalah al-Qur’an, dasar-dasar tauhid dan akhlak.
Dengan masuknya Umar bin khattab jumlah siswa darularqam berjumlah empat puluh orang. Dengan masuknya Umar bin khattab, dakwah dilakukan dengan terang-terangan. Pada tahun 171 H/ 787 M al-Khaizaran, sahaya al-Mahdi al-Abbasi mengubah darularqam menjadi masjid. Pada tahun 1375 H/ 1955 M mesjid ini dirubuhkan untuk perluassan tempat sa’i.  Untuk mengenang tempat ini pintu pertama yang digunakan untuk sa’i di dekat bukit Shafa diberi nama pintu darularqam.[6]
Selain itu Rasulullah saw. juga menyarankan para sahabat yang sudah mendapat pendidikan di darularqam, agar memberi pelajaran di rumah masing-masing sebagai mana sabda beliau:
وَ قَالَ مَالِك بن الحُوَارِث و َقَال لنَا النَّبِي صَلَّى الله عَلَيْهِ و َسَلَّم : اِرْجِعُوْا اِلَى اَهْلِيْكُمْ فَعَلِّمُوْهُمْ (رواه البخاري)
Artinya: Malik bin al-Huwarits berkata: Rasulullah saw bersabda kepada kami: Kembalilah kepada keluargamu kemudian ajarilah mereka (HR. Bukhari).[7]

3. Masjid
Pada masa awal Islam, lembaga pendidikan terdiri dari dua tingkat, yaitu tingkat dasar (kuttab) dan tingkat pendalaman (mesjid).[8] Pada masa Rasulullah saw. tepatnya pada periode Madinah, mesjid adalah pusat pendidikan, informasi, kegiatan sosial dan ekonomi. Menurut  al-Baladzuri dan Ibnu Hasyim, mesjid yang pertama kali dibangun adalah mesjid at-Taqwa di Quba, oleh para sahabat yang lebih dahulu hijrah ke Madinah. Kemudian setelah Nabi saw. hijrah ke Madinah, Beliau bersama-sama dengan para sahabat membangun mesjid al-Mirbad.[9] 
Pada perkembangan berikutnya, mesjid terbagi dua yaitu mesjid biasa (musolla) dan mesjid jami’. Dalam mesjid jami’ diselenggarakan shalat Jum’at dan dalam mesjid jami’ pula terdapat halaqoh-halaqoh, majlis-majlis dan zawiyah-zawiyah.[10]
Seiring dengan bertambahnya jumlah siswa dan berkembangnya kurikulum maka mesjid tidak mampu lagi menampung halaqoh-halaqoh majlis-majlis dan zawiyah-zawiyah. Lalu pada akhirnya beberapa mesjid bertranformasi menjadi madrasah atau jami’ah, sehingga jenjang pendidikan menjadi bertambah yaitu: tingkat dasar (kuttab), tingkat menengah (masjid) dan tingkat tinggi (madrasah/jami’ah).[11] Beberapa mesjid yang bertransformasi menjadi madrasah/jami’ah antara lain; Jami’ ‘Amru bin al’Ash didirikan oleh Panglima ‘Amru bin al’Ash (21 H/ 642 M), Jami’ al-‘Askar didirikan oleh Panglima Abu Ismail Ghamir (132 H/ 749 M), Jami’ Ibnu Thulun didirikan oleh Sultan Ahmad bin Tulun (265 H/ 878 M), Jami’ al-Azhar didirikan oleh Panglima Jauhar al-Siqili (360 H/ 974 H).[12]
Sedangkan di Indonesia penggunaan kata madrasah adalah untuk pendidikan dasar dan menengah. Di Indonesia perkataan madrasah sebagai nama dari sebuah lembaga pendidikan Islam baru populer di awal abad ke dua puluh, yaitu dalam bentuk pesantren, rangkang, dayah dan surau.[13] Di antara ulama yang berjasa dalam menggagas tumbuhnya madrasah di Indonesia antara lain Syekh Abdullah Ahmad, pendiri Madrasah Adabiyah di Padang tahun 1909, Syekh M. Thaib Umar mendirikan Madrasah School tahun 1910 di Batu Sangkar  tapi hanya berjalan tiga tahun kemudian ditutup, lalu tahun 1918 dibuka kembali oleh Mahmud Yunus dan pada tahun 1923 berganti nama dengan Diniyah School. Pada tahun 1915 Zainuddin Labai al-Yunusi mendirikan Madrasah Diniyah di Padang Panjang. KH Ahmad Dahlan pada tahun 1912 mendirikan organisasi Muhammadiyah yang membangun banyak sekolah.[14]

4. Shuffah
Shuffah adalah lembaga pendidikan Islam  yang  didirikan oleh Rasulullah saw. di sebelah mesjid untuk orang yang tidak mampu.  Lembaga ini pada awalnya untuk belajar al-Qur’an, tapi kemudian berkembang  menjadi dasar-dasar berhitung, kedokteran, astronomi dan ilmu fonetik. Ada sembilan shuffah yang tersebar di kota Madinah, salah satunya berlokasi di samping mesjid Nabawi.[15]
Orang yang tinggal di shuffah di sebut ahlussuffah dan mereka mendapat perhatian yang lebih dari Rasulullah saw. Hadiah-hadiah yang diperoleh oleh Rasulullah saw. diserahkan kepada ahlussuffah. Kegiatan ahlussuffah selain belajar dan beribadah adalah membantu Rasulullah saw. di medan perang.[16]

5. Khan
    Khan adalah gudang penyimpanan barang dalam jumlah yang besar, sebagai sarana komersial yang dimiliki oleh toko.  Selain itu khan juga berfungsi sebagai asrama bagi murid-murid dari luar daerah yang ingin belajar agama di mesjid. Di samping fungsi tersebut di atas khan juga berfungsi senagai tempat belajar privat. [17]

6. Salun
Salun adalah lembaga pendidikan Islam  yang mengajarkan seni dan sastra. Menurut ‘Abd al-’Al, salun ada pada dinasti  ‘Abasiyyah, tapi menurut Harun Nasution, salun sudah ada pada dinasti Umayyah, dan berkembang dengan megah pada dinasti ‘Abbasiyyah.[18]

7. Halaqoh
Halaqoh artinya lingkaran, yaitu murid-murid duduk di lantai melingkari gurunya. Kegiatan halaqoh ini bisa terjadi di masjid atau di rumah-rumah. Sistem halaqoh tidak mengenal sistem klasikal, semua umur dan jenjang berkumpul bersama untuk mendengarkan penjelasan guru. Jadi tidak dibedakan antara usia dan jenjang pendidikannya.[19]

8. Majlis
Istilah majlis telah dipakai dalam pendidikan sejak abad pertama Islam. Misalnya, ia merujuk pada arti tempat-tempat pelaksanaan belajar mengajar. Pada perkembangan berikutnya di saat dunia pendidikan Islam mengalami zaman keemasan, majlis berarti sesi di masa aktifitas pengajaran atau diskusi berlangsung dan belakangan majlis diartikan sebagai sejumlah aktifitas pengajaran, sebagai contoh, majlis al-Nabawi, artinya majlis yang dilaksanakan oleh nabi atau majlis al-Syafi’i artinya majlis yang mengajarkan fiqih Imam Syafi’i.[20]
Beberapa macam majlis antara lain: Majlis al-Hadits, yaitu majlis yang diselenggarakan oleh ulama yang ahli hadits. Majlis al-Tadris, yaitu majlis yang mengadakan pengajaran selain hadits seperti; majlis fiqh, majlis nahwu atau majlis kalam. Majlis al-Munazarah, yaitu digunakan untuk perdebatan antar ulama. Majlis a-Muzakarah yaitu majlis yang diselenggarakan oleh murid-murid majlis al-hadits untuk mengulang pelajaran sambil menunggu kedatangan guru. Majlis al-Syu’ara, yaitu majlis untuk belajar sya’ir. Majlis al-Adab yaitu majlis untuk belajar sastra. Majlis al-Fatwa atau al-Nazar yaitu sarana pertemuan untuk mencari keputusan suatu masalah di bidang hukum kemudian difatwakan, disebut al-Nazar karena karakteristik majlis ini adalah perdebatan antara ulama fiqh/hukum Islam. [21]



9. Zawiyah

Kata Zawiyah pada mulanya merujuk kepada sudut dari suatu bangunan, dan sering dikaitkan dengan mesjid. Di sudut mesjid tersebut terjadi proses pendidikan antara si pendidik dan si terdidik. Selanjutnya zawiyah dikaitkan dengan tarekat-tarekat sufi, di mana seorang syekh atau mursyid melakukan kegiatan pendidikan kaun sufi.[22]

10. Ribath
Ribath adalah tempat kegiatan kaum sufi yang ingin menjauhkan diri dari kehidupan duniawi dan mengkonsentrasikan diri untuk ibadah semata-mata.[23] Ribath biasanya dihuni oleh sejumlah orang-orang miskin. Mereka bersama-sama melakukan praktik-praktik sufistik. Disamping melakukan praktek sufistik, mereka juga memberi perhatian kepada kegiatan keilmuwan.

11. Toko Buku & Perpustakaan
Perpustakaan dan Toko buku merupakan tempat di mana terdapat kumpulan-kumpulan atau koleksi buku yang dapat dibaca-baca. Perpustakaan berkembang luas pada masa Abbasiyyah, baik perpustakaan umum maupun perpustakaan pribadi. Faktor-faktor yang menyebabkan perkembangan itu antara lain ialah meluasnya penggunaan kertas untuk menyalin kitab-kitab, munculnya para penyalin kitab, dan berkembangnya halaqoh para sastarawan dan ulama.
Di Bashrah pada abad ke 10 Masehi, dibangun perpustakaan yang dijaga oleh para sarjana yang digaji oleh pendiri perpustakaan. Di Syiraz oleh penguasa Buwaihi, Adud ad-Dawlah (977-982 M) dibangun perpustakaan yang semua buku-bukunya disusun di atas lemari-lemari, didaftar dalam katalog dan diatur dengan baik oleh staf administrator yang berjaga segara bergiliran.[24]
Pada tahun 891 M di ibukota kekhalifahan ‘Abbasiyyah terdapat lebih dari seratus toko buku yang berderet di satu ruas jalan. Demikian juga di Damaskus dan Kairo. [25]

12. Rumah Sakit
Rumah sakit berfungsi sebagai tempat untuk merawat dan mengobati orang sakit, serta sebagai tempat mendidik tenaga-tenaga yang berhubungan dengan perawatan dan pengobatan. Pada masa klasik, penelitian dan percobaan dalam bidang kedokteran dan obat-obatan juga telah dilaksanakan sehingga ilmu kedokteran dan obat-obatan berkembang dengan pesat.[26]

13. Badiah
Badiah adalah padang pasir, dusun tempat tinggalnya orang Badwi. Orang badwi yang tinggal di badiah-badiah tetap mempertahankan keaslian dan kemurnian bahasa Arab. Banyak anak-anak khalifah, ulama-ulama dan para ahli ilmu pengetahuan pergi ke badiah-badiah dalam rangka mempelajari ilmu bahasa dan kesusasteraan Arab. Dengan begitu badiah-badiah telah berfungsi sebagai lembaga pendidikan. [27]

C. Keadaan Lembaga Pendidikan Islam Sebelum Madrasah
Lembaga pendidikan Islam sebelum madrasah masih sangat sederhana, namun seiring dengan perkembangan zaman, lembaga pendidikan tersebut bertransformasi menjadi madrasah. Menurut Ahmad Syalabi bahwa transformasi berawal dari masjid ke madrasah. Sedangkan menurut George Makdisi, transformasi berawal dari masjid, masjid-khan dan madrasah.
Lembaga pendidikan Islam periode sebelum madrasah tidak mengenal sistem klasikal, walaupun pada masa kejayaan pendidikan Islam yaitu pada masa daulah ‘Abbasiyyah sudah ada yang menggunakan perabotan seperti kursi dan meja namun tingkatan pendidikan Islam pada masa ini hanya menggunakan penggolongan tingkatan/level secara umum yaitu; pendidikan Islam tingkat rendah, menengah dan tinggi.
Pendidikan Islam tingkat rendah dilaksanakan di kuttab/maktab sedangkan tingkat menengah dan tinggi diselenggarakan di masjid. Adapun yang membedakan antara tingkat menengah dan tinggi adalah; pada tingkat menengah diampu oleh ulama yang tidak terkenal, sedangkan pada tingkat tinggi diampu oleh ulama besar yang memiliki pengetahuan yang mendalam dengan integritas kesalehan dan kealiman yang diakui oleh masyarakat.
Lembaga pendidikan Islam sebelum periode madrasah belum dikelola secara menyeluruh dan profesional oleh pemerintah, tapi lebih banyak dikelola sendiri-sendiri oleh pihak swasta atau ulama, sehingga lebih sulit untuk menentukan standar kurikulum. Umumnya materi pembelajaran pada tingkat rendah adalah baca tulis al-Qur’an, dan pengetahuan agama tingkat dasar seperti, aqidah-akhlak, ibadah, dan muamalat. Sedangkan materi pembelajaran pada tingkat menengah dan tinggi adalah; al-Qur’an beserta tafsirnya, al-Hadits beserta syarahnya serta ilmu Fiqh.[28]    





[1] Ramayulis,2012, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta; Kalam Mulia, hlm.140.
[2] Samsul Nizar, 2009. Sejarah Pendidikan Islam, Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasullullah Sampai Indonesia, Jakarta: Kencana, hlm.16.
[3] Abudin Nata, 2010. Sejarah Pendidikan Islam Pada Periode Klasik dan Pertengahan, Jakarta: RajaGrafindo Persada, hlm.33.
[4] Abdul Mukti, 2008. Pembaharuan Lembaga Pendidikan di Mesir, Bandung: Citapustaka Media Perintis, hlm.53.
[5] Samsul Nizar, 2009, op.cit., hlm.111.
[6] Muhammad Ilyas abdul Ghani, 2003. Sejarah Kota Mekkah Klasik dan Modern, Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, hlm.53.
[7] Samsul Nizar dan Zainal Efendi Hasibuan, 2011. Hadis Tarbawi, Bandung: Kalam Mulia, hlm.24.
[8] Badri Yatim, 1993. Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: RajaGrafindo Persada, hlm.54.
[9] Samsul Nizar, 2009, op.cit., hlm.116.
[10] Abudin Nata, 2010. op.cit., hlm.38.
[11] Abdul Mukti, 2008. op.ci.t, hlm.63-68.
[12]Ibid., hlm.55.
[13] Haidar Putra Daulay, 2009. Sejarah Pertumbuhan dan Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana, hlm. 51.
[14] Ibid., hlm.97.
[15] Abudin Nata, 2010. op.cit., hlm.33.
[16] Samsul Nizar dan Zainal Efendi Hasibuan, 2011. op.cit, hlm.23.
[17] Abudin Nata, 2010. op.cit., hlm.39.
[18] Samsul Nizar, 2009, op.cit., hlm.118.
[19] Abudin Nata, 2010. op.cit., hlm.34-35.
[20] Ibid., hlm.35.
[21] Ibid., hlm.36-37.
[22] Haidar Putra Daulay, 2009. op.cit., hlm.25.
[23] Ibid., hlm.39.
[24] Dedi Supriyadi,2008, Sejarah Peradaban Islam, Bandung; Pustaka Setia, hlm.136-137.
[25] Ibid., hlm.137
[26] Abudin Nata, 2010. op.cit., hlm.41.
[27] Ibid., hlm.42.
[28] Ramayulis, op.cit., hlm.57.

28 June 2016

WIRID, DZIKIR DAN DO'A SETELAH SHALAT


Membaca Wirid, Dzikir dan Do'a Setelah Shalat Hukumnya Tidak Wajib, tapi Sunnah. Ada banyak Wirid, Dzikir dan Do'a Setelah Shalat. Misalnya:




اَسْتَغْفِرُاللهَ اْلعَظِيمَ. الَّذِى لاَ اِلٰهَ اِلاَّ هُوَ اْلحَيَّ اْلقَيُّوْمَ وَ اَتُوْبُ اِلَيْهِ   3X
لَا اِلٰهَ اِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ.  لَهُ اْلمُلْكُ وَ لَهُ اْلحَمْدُ يُحْيِ وَ يُمِيْتُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْئٍ قَدِيْرٍ     3X
اَللّٰهُمَّ اَنْتَ السَّلاَمُ وَ مِنْكَ السَّلاَمُ وَ اِلَيْكَ يَعُوْدُ السَّلاَمُ. فَحَيِّنَا رَبَّنَا بِالسَّلاَمِ وَ اَدْخِلْنَا اْلجَنَّةَ دَارَ السَّلاَمِ تَبَارَكْتَ رَبَّنَا وَ تَعَالَيْتَ يَا ذَاْلجَلاَلِ وَالإِكْرَامِ.
اَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ
بِسْمِ اللّهِ الرَّحْمـٰنِ الرَّحِيمِ . اَلْحَمْدُ لِلّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ. اَلرَّحْمٰـنِ الرَّحِيمِ. مَـالِكِ يَوْمِ الدِّينِ. إِيَّاكَ نَعْبُدُ وإِيَّاكَ نَسْتَعِينَ. اِهدِنَــــا الصِّرَاطَ المُستَقِيمَ. صِرَاطَ الَّذِينَ أَنعَمتَ عَلَيهِمْ غَيرِ اْلمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلاَ الضَّالِّينَ.
اِلٰهَنَا اَنْتَ مَوْلاَنَا.  (سُبْحَانَ اللهِ... 33X)
سُبْحَانَ اللهِ وَبِحَمْدِهِ دَائِمًا قَائِمًا اَبَدًا. (اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ... 33X )
الْحَمْدُ لِلّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ عَلَى كُلِّ حَالٍ وَ فِى كُلِّ حَالٍ وَ نِعْمَةٍ. (اَللهُ اَكْبَرُ... X33)
اَللهُ اَكْبَر ُكَبِيْراً وَ اْلحَمْدُ لِلّٰهِ كَثِيْراً وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَ اَصِيْلاً.  لَا اِلٰهَ اِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ. لَهُ اْلمُلْكُ وَ لَهُ اْلحَمْدُ يُحْيِ وَ يُمِيْتُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْئٍ قَدِيْرٍ. وَاِلَيْكَ اْلمَصِيرُ. لَا حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ اِلاَّ بِاللهِ اْلعَلِيِّ اْلعَظِيْمِ.

DOA SETELAH SHALAT
اَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ. بِسْمِ اللّهِ الرَّحْمـَنِ الرَّحِيمِ
حَمْدًا يُوَافِى نِعَمَهُ وَيُكَافِئُ مَزِيْدَهُ يَا رَبَّنَا لَكَ اْلحَمْدُ كَمَا يَنْبَغِى لِجَلاَلِ  وَجْهِكَ اْلكَرِيْمِ وَ عَظِيْمِ سُلْطَانِكَ
اَللّٰهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَ عَلَى اٰلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ.
رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا صَلاَتَنَا وَصِيَامَنَا وَقِيَامَنَا وَرُقُوْعَنَا وَسُجُوْدَنَا وَقُعُوْدَنَا وَتَضَرُّعَنَا وَتَخَشُّعَنَا وَتَعَبُّدَنَا وَتَمِّمْ تَقْصِيْرَنَا يَا اَللهَ يَارَبَّ اْلعَالَمِيْنَ.
رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَإِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ
رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا
 رَبَّنَا وَلَا تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِنَا
 رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلَانَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ
رَبَّنَا اٰتِنَا فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَ فِى اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَ قِنَا عَذَابَ النَّارِ
سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ اْلعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُوْنَ وَسَلاَمٌ عَلَى اْلمُرْسَلِيْنَ وَاْلحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ اْلعَالَمِيْنَ